part 6

403 14 0
                                    

Dua minggu telah berlalu. Tersisa seminggu lagi Nara berada disini. Dan malam ini adalah akhir dari tahun 2017. Banyak warga yang merayakan tahun baru ini dengan sekedar bakar-bakar jagung dan lain-lain. Langit desa di penuhi dengan letusan-letusan kembang api yang di nyalakan oleh salah seorang warga desa.

Aku dan Nara tentu saja mengadakan acara kecil-kecilan di rumah pohon. Area rumah pohon itu sudah terlihat terang oleh lampu-lampu yang menghiasinya. Semenjak kejadian hilangnya aku dan Nara versi warga, kini kepala desa menghadiakan persahabatan kami dengan memberi penerangan di area rumah pohon tersebut.

"Sudah masak belum jagung bakarnya?" teriak Nara dari jendela rumah pohon.

"Sudah Ra, Kemarilah."

Nara bergegas turun lalu mengahmpiriku yang sedang membakar jagung di bawah pohon ek.

"Ini, ambillah." ucapku sambil menyodorkan jagung bakar kearahnya.

"Kau juga makanlah dulu."

Aku mengangguk.

Kami berdua melahap jagung bakar di bawah pohon ek. Nyaman rasanya, suasananya nikmat dan bersahabat.

"Apa yang kau lakukan setelah lulus SMP? Dimana kau akan lanjutkan sekolahmu?" Aku membuka pembicaraam terlebih dahulu yang sempat hening.

"Aku akan fokus untuk menjadi dokter. Aku akan masuk SMA yang masih berurusan dengan kedokteran. Lalu akan lanjut kuliah masuk Fakultas Kedokteran di kota." Jawabnya  dengan pandangan yang masih menatap jagung bakar yang ia lahap.

"Wah seru juga. Lalu bagaimana dengan rencana membuat pabrik boneka yang sering kau ceritakan dulu?"

Kami berdua tertawa lepas.

"Itu hanya cita-citaku saat kecil. Sekarang aku tumbuh dan bisa berfikir kedepan secara matang sekarang. Lalu bagaimana dengan kau Bim?"

"Aku akan melanjutkan SMA disini. Dan setelah itu aku berencara kuliah di kota."

"Ohiya? seriuskah? Baiklah akan kutunggu kau disana." katanya sambil mencubit kecil lenganku.

Kami berdua menyantap jagung bakar dengan hikmat. Aku tau ini malam yang begitu istimewa, di tambah ada Nara di sampingku.

"Ohiya Bim, kau masih menulis?"

"Iya masih."

"Kapan akan menjadi buku?"

"Aku tidak pernah berfikir untuk membukukan semua tulisa-tulisanku."

"Kenapa tidak? Tulisanmu bagus kok, aku saja sampai terkagum-kagum."

"Ah, masa iya? Mungkin di lain waktu. Sempat terbesit si untuk menerbitkan tulisanku ke dalam sebuah buku. Tapi apakah pantas dan akan laku di pasaran."

"Hey.. Jadi penulis itu bukan mencari ketenaran dan mendapat banyak uang Bima. Itu hanya akibat, kamu jangan berharap lebih untuk bisa terkenal. Kalau bukumu tidak laku kau mau apa? berhenti menulis? tidak juga kan? kau sendiri yang bilang bahwa kau menulis untuk berdamai pada diri sendiri dan berdamai pada semesta."

Aku terdiam sejenak. Menaruh sisa-sisa jagung bakar yang sudah tak tersisa. Apa yang di katakan Nara selalu membuat semangatku tumbuh, karena apa yang ia katakan selalu membuatku merasa menjadi manusia berarti. Menulis bukan untuk ketenaran itu hanya akibat, menulis akan membuat seseorang berdamai dengan sekeliling dan berdamai dengan semesta.

"Jadi kapan untuk menerbitkan?"

Aku menoleh kearahnya, menatapnya dalam "Segera Ra."

"Gitu dong itu baru Bima yang aku kenal. Jangan mudah menyerah ya Bim, aku selalu mendukungmu."

"Terimakasih atas dukungannya Ra, aku hargai itu."

Tepat pukul 00:00 suara dentuman terdengar dari tengah desa, disertai sorak-sorai warga. Kami berdua menatap langit yang meriah dengan kembang api. Aku tahu ini adalah malam yang indah dibandingkan malam-malam yang pernah kami habiskan bersama. Tanganku menggenggam tangan Nara, begitupun sebaliknya. Dengan erat tanpa ingin melepasnya.

***

Hari ini tepat keberangkatan Nara kembali ke kota. Aku tak lagi sedih seperti saat pertama kali ditinggal olehnya. Aku sekarang lebih kuat mengikhlaskan melihatnya pergi lagi ke kota. Lambat laun kami akan bertemu lagi. Toh, dia sudah bilang bahwa ia menungguku di kota.

Aku, Nara, dan Bunda menunggu di teras Yayasan untuk melepas lagi kepergian sahabatku. Terlihat mobil bewarna putih datang menghampiri kami. Kulihat supir yang keluar lalu mengambil barang bawaan Nara yang di angkat lalu di letakkan di bagasi mobil

Nara berpamitan kepadaku dan bunda. Ia memlukku seraya berbisik.

"Jangan mudah menyerah. Terus kejar apa yang kau inginkan. Aku akan menunggumu di kota. Aku titip rumah pohon itu padamu, jaga baik-baik seperti kau menjagaku."

Aku tersenyum. Ia melepaskan pelukannya lalu pergi memasukki mobil sambil melambaikan tangan tanda perpisahan. Begitupun aku membalasnya.

Kepergiannya membuatku paham. Bahwa segala perpisahan tak selamanya buruk. Matahari selalu pamit pulang dikala senja, namun kebanyakan dari manusia malah menikmati matahari terbenam dari pada matahari terbit. Begitulah realita kehidupan, terkadang hal-hal baik terjadi dalam perpisahan.

Senja Yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang