Menikah lagi?

5.2K 332 4
                                    

Kurebahkan diri di tempat tidur menatap langit-langit rumah, pikiran melayang jauh. Suara azan Isya sudah berlalu lima belas menit lalu. Hari ini, lelah bukan hanya hinggap merasuk badan, tapi hati pun mulai terusik oleh pemikiran sendiri. Harusnya aku bahagia, sebab dapat pulang lebih awal dan bertemu dengan anakku.

Tapi nyatanya tidak begitu. Aku malah memikirkan perkataan sendiri sewaktu menjawab pertanyaan Danish.

Kenapa aku tak pernah salat? Padahal mempercayai bahwa Allah itu ada.

Kenapa aku mengingkari keberadaan-Nya? Padahal Agama yang tertera di kartu identitasku adalah Islam.

Apa sebenarnya tujuanku hidup di dunia? Padahal aku tau hidup itu hanya sementara. Setelah itu mati.

Dan satu hal lagi yang masuk kedalam pikiranku adalah ... Aisyah, Ibuku.

"Nika?"

Terdengar seseorang memanggil membuayarkan lamunan.

"Iya, Bu, masuk," jawabku dari dalam tanpa beranjak dari tempat tidur.

Ternyata Ibu yang datang, masuk ke dalam kamar dengan membawa segelas air putih dan obat. Aku terbangun, namun tak beranjak dari tempat tidur sampai Ibu sendiri yang menghampiri.

"Apa kamu sudah baikan? Ibu bawakan obat untukmu, diminum ya," ucap Bu Dewi, dia membukakan obat itu. Memberikannya padaku dan menempelkan telapak tangannya di keningku.

Aku tak menjawab.

"Kamu demam, besok jangan kerja, ya, liburlah satu hari. Istirahatkan badanmu sampai kamu sembuh," ucapnya lagi.

"Terima kasih, Bu. Tapi, aku tidak bisa libur. Besok ada tamu di pabrik. Aku harus ada di sana," ucapku dengan suara serak.

Sejak pulang dari tempat kerja sore tadi, badan sungguh terasa sakit. Flu dan batuk, bahkan mual juga. Mungkin masuk angin, bagaimana tidak, hari sabtu kemarin aku lembur shift malam dan pulang minggu pagi. Tidur satu setengah jam di hari minggunya kemudian menemani Athaya seharian penuh. Dan malam senin juga tak tidur semalaman karena Athaya sakit.

"Nak, jangan paksakan dirimu. Jika memang ada hal yang paling mahal di dunia, itu adalah kesehatan. Pekerjaan bisa ditunda dulu." Bu Dewi membelai rambutku lembut.

Aku tersenyum, "Iya, Bu."

"Ya, sudah, kamu istirahat saja ya, Thaya juga sudah tidur di kamar Ibu." Ibu mengusap pundak sebelum beranjak.

"Ibu, tunggu dulu," ucapku menahan langkahnya yang hendak lergi.

"Apa kamu butuh sesuatu lagi?"

Aku menggelengkan kepala. "Itu ... apa boleh aku meluk Ibu? Sekali aja."

Bu Dewi tersenyum dan menghampiri lagi. Dengan tanpa banyak kata, dia memeluk erat tubuhku yang bergetar karena dingin menusuk kulit. Aku pun balas memeluknya. Ini hangat. Tidak, ini bahkan lebih hangat. Aku merasa nyaman mendapat pelukan hangat darinya. Pelukan yang tak pernah kudapatkan dari Ibu kandungku.

Perasaan membludak. Semakin dia memeluk dan mengusap punggungku. Malah semakin merasa perih. Perih karena menyesali diri sendiri. Kenapa aku lahir di dunia ini kalau hanya untuk ditinggalkan? Kenapa Ibuku begitu nyaman tinggal di Negeri orang? Padahal bukan harta berlimpah yang kuharap. Tapi kehangatan ini. Pelukan ini bagaikan mimpi. Mimpi yang takkan pernah terwujud. Sampai dia kembali ke tanah air.

"Kamu kenapa?" tanya Bu Dewi.

Tak kuasa menahan tangis, aku semakin memeluknya erat. Menyembunyikan wajah di pundaknya.

"Aku ridu Ibuku ...," lirihku.

Bu Dewi membelai rambutku dengan lembut.

"Aku merindukannya, sangat merindukannya. Kehangatan ini, aku tidak pernah dapat dari Ibuku sendiri."

Pernikahan Kedua AnikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang