Lamaran Danish

3.8K 267 4
                                    

Setelah membaringkan Athaya di kamar. Aku kembali mengahmpiri mereka yang datang ke rumah. Iqbal juga masih ada. Dia tampak heran dengan kedatangan Danish dan kedua orang tuanya.

"An, aku pamit pulang, ya," ucap Iqbal.

Tanpa menjawabnya, aku hanya tersenyum dan mengangguk pelan. Lalu meminta izin pada Bu Dewi untuk mengatarnya sampai ke depan pintu. Sekaligus untuk menjelaskan apa yang terjadi.

"Maaf ya, aku jadi tidak enak sama kamu," ucapku dengan ragu.

"Harusnya aku yang minta maaf sama kamu, Nika. Karena, aku tidak tau kalau ternyata kamu sudah ada yang punya." Iqbal masih tersenyum saat bicara.

"Iqbal, sebenernya hal itu juga yang mau aku jelaskan, kalau--" Ucapanku terpotong karena melihat Iqbal mengulurkan satu tangannya.

"Selamat ya, semoga kalian bahagia."

"Iqbal ...."

Dia masih mengulurkan tangannya, senyumnya jelas terpaksa. Tapi aku tak bisa menebak isi hati seseorang. Dia juga tak pernah menyatakan perasaannya padaku. Bahkan kami dekat juga baru-baru ini.

Dengan perasaan campur aduk, kepergian Iqbal nyatanya membuat hati sakit. Apa karena aku memiliki perasaan padanya? Sepertinya tidak. Pasti aku hanya terbawa perasaan sebab melihat ekspresi yang ditunjukannya.

Kembali lagi ke dalam rumah, masih dengan hati tak karuan. Duduk di samping Ayah yang sudah rapih dengan baju kemeja birunya. Rambut dan janggutnya yang sudah ditumbuhi uban kini kembali diwarnai hitam. Tak seperti biasanya Ayah berpenampilan seperti ini.

Di sebrang sana, Danish duduk bersama kedua orang tuanya. Penampilannya sangat rapih dari ujung kaki hingga kepala. Dia tersenyum tipis ke arahku. Tapi aku enggan membalasnya dan membuang pandangan ke bawah.

Aku sama sekali tak berani menatap mereka, apalagi tatapan seorang wanita bertubuh lumayan berisi yang dibalut dengan pakaian syar'i berwarna navy itu terkadang menatap sinis.

Pembicaraan kami berlanjut ke arah yang lebih menyudut ke inti kedatangan mereka. Sedangkan aku sendiri masih ragu dengan perasaanku sendiri.

Apakah Danish adalah laki-laki yang terbaik untukku? Untuk Athaya? Apakah Athaya akan menyuakinya seperti menyukai Iqbal? Hati berkemelut sendiri.

"Apa kamu sudah tau tentang status anak saya sekarang?" tanya Ayah pada Danish.

"Ya."

"Apa kamu yakin, akan tetap menikahinya?"

"Yakin, insya Allah."

"Kau tau, anak saya memiliki tempramen tinggi, dia tak mudah mengalah dan sedikit egois, dia juga tak bisa memasak, dia masih harus banyak belajar, apa kamu masih yakin akan menikahinya?"

Alisku berkedut. Kenapa Ayah malah menunjukkan semua keburukanku pada mereka? Melihat tatapan wanita yang duduk di samping Danish. Itu sedikit membuat nyali ciut. Aku bahkan tak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika menjadi menantunya.

Danish masih menjawab pelan namun tegas. "Saya akan membimbingnya."

"Tapi Anika juga termasuk wanita baik-baik, tidak mudah menyerah dan tidak pernah melakukan sesuatu yang diluar batas."

"Ya ... saya tahu."

Hening sesaat. Suasana tegang kian meresap.

"Sekali lagi saya bertanya. Apa kamu benar-benar sudah yakin ingin menikahi anak saya dan menerima Athaya sebagai anakmu?" tanya Ayah sedikit lebih tegas.

"Ya. Saya yakin ... lillahi ta'ala. Saya juga akan menyayangi dan menerima Athaya sebagaimana mestinya."

Kutatap Danish. Laki-laki itu menjawab dengan tanpa ada ragu sedikitpun. Lancar dan sangat yakin dengan jawabannya. Ayah juga masih mengajaknya bicara, sampai akhirnya Ayah memasrahkan semua jawabannya padaku.

Pernikahan Kedua AnikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang