Ending💚💙❤

4.4K 190 11
                                    

Satu tahun kemudian.

"Atha kamu yakin mau tinggal di sini, Nak?" tanyaku.

Kuedarkan pandangan pada sebuah kamar berukuran sedang tempat tidur Athaya selama tiga tahun kedepan.

Sebuah tempat dimana dia akan tidur dan belajar saat malam. Sangat berbeda jauh dengan kamar miliknya selama ini, besar dan nyaman pastinya.

"Yakin, Bu." Athaya menjawab singkat saat dia selesai mengepak pakaiannya ke lemari plastik. "Nanti juga ada siswa lain yang tidur bersamaku, dia datang besok," jelasnya.

"Tapi kalau kamu tidak betah bilang sama Ibu, nanti kamu bisa menerima tawaran Ayah tinggal di rumah Tante Ratna, di sana pasti lebih nyaman, Nak," tawarku lagi pada Athaya.

"Tidak perlu, Bu. Aku tidak ingin menyusahkan orang lain. Aku akan tinggal di sini saja," jawabnya.

"Yah, baiklah jika kamu memang ingin tinggal di sini," ucapku bernada berat. "Tapi nanti kalau kamu butuh sesuatu langsung kabari Ibu, ya."

Kuusap pundaknya, anakku hanya memberi seulas senyum tipis. Pertama kali seumur hidup aku dan Athaya berpisah jauh, entah kenapa rasanya sangat berat. Rasa khawatir dan takut bertumpuk jadi satu, namun nyatanya ia telah memilih akan memulai perjalanan baru dengan cara ini.

"Iya. Ibu tidak perlu khawatir, aku akan menjaga diri sebaik mungkin," jawabnya.

Aku mengusap air mata yang mendadak keluar tanpa bisa tercegah. Sekarang, aku hanya bisa merasakan dinginnya seprai tidur dan bantal miliknya yang kosong tak berpenghuni.

Perasaan ini sedikit menyiksa, menunggu kapan dia pulang serasa begitu lama. Obat yang kumiliki adalah saat saling memberi kabar lewat gawai.

"Nika, kau ada di sini lagi?" Suara Danish membuyarkan lamunanku. Segera menyeka air mata, kasur yang kududuki berderit, Danish duduk tepat di sebelahku.

"Aku merindukannya, Danish."

Dengan mata yang sedikit mengabur menjawab pertanyaannya, tampaknya Danish sudah mengerti kebiasaan baruku selama hampir dua bulan ini.

"Dia akan baik-baik saja, percayakan semuanya pada Allah dan Athaya sendiri. Dia anak yang baik," ujar Danish.

"Tapi aku tetap tidak nyaman, aku belum terbiasa, Danish. Setiap hari biasanya dia ada di rumah bersama kita dan tidur di kamar ini. Aku khawatir, apa tidurnya cukup? Apa makannya teratur? Apa ia sakit di luar sana? Aku tidak bisa melihat itu."

"Aku mengerti perasaanmu. Aku juga merasakannya, maka dari itu jangan pernah putus doa untuknya, Nika. Dan kamu masih bisa menelponnya, kan? Teruslah berkomunikasi dengannya saat ia ada waktu senggang."

Danish menenangkanku lagi. Aku hanya mengangguk menguatkan diri untuk kesekian kalinya.

Sekarang dan seterusnya aku dan Danish fokus pada Arvin yang juga semakin tumbuh besar. Ia sangat aktif dan kreatif, sejak Arvin menunjukan potensi yang ia minati, Danish terus mendampinginya.

Sepertinya, Danish benar mendapat kloning dirinya sendiri. Sama-sama menyukai otomotif, jadi sangat mudah baginya mengarahkan Arvin.

Sampai semuanya tak terasa.

Ah, ya. Tak terasa.

Bertahun-tahun kemudian terlewat begitu saja, kadang aku merasa hidup di dunia ini begitu cepat. Dari semenjak terbit sampai terbenamnya matahari, hariku bersama keluarga kecil yang kubina sekian lamanya ternyata membuatku sangat nyaman.

Ibuku Aisyah pun akhirnya bersedia tinggal di rumah yang telah kami buat khusus untuknya, beliau datang tiga tahun lalu, pada awalnya dia bersikeras tak ingin tinggal bersamaku dan memilih bekerja lagi sebagai ART di Jakarta. Dan sebagai anak, sebesar-besarnya kebencianku pada Ibu, tetap saja tak bisa kuabaikan seorang wanita yang telah berjasa melahirkanku ke dunia ini.

Pernikahan Kedua AnikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang