Sikap Danish?

3.7K 302 21
                                    

Sedikit atau banyak, tentu kita pasti memiliki harapan untuk bisa diakui oleh mertua bukan? Dengan mengikuti suami, menitipkan diri di rumah mertua tentu bukan perkara mudah. Begitu juga yang kurasakan saat ini. Kehamilan pertama dari pernikahan keduaku sudah memasuki minggu ke delapan. Semoga saja, dengan kehamilan ini Bu Rosma bisa menerimaku sebagai menantunya.

Pulang dari klinik 24 jam, kami bertiga pergi ke sebuah minimarket, Danish memintaku diam di mobil, namun aku enggan dan malah mengikutinya.

Mengambil susu untuk Ibu hamil beserta keperluan harian yang lain sudah ada di dalam keranjang.

"Apa ada yang kamu inginkan, Nika?" tanya Danish.

"Aku tidak mau apa-apa, Dan."

"Yakin?"

Aku mengangguk mengiyakan, namun sesudah itu malah teringat sesuatu.

"O, nanti saja, aku mau beli buah-buahan sama makanan untuk Umi dan Abi, Dan."

"Oh, iya, kalau begitu, kamu sama Athaya masuk ke mobil sekarang ya, aku akan bayar ini dulu."

Menuruti permintaan Danish, aku pun menuntun Athaya keluar dari minimarket. Tersenyum lega, mengusap lembut calon buah hati yang ada dalam rahimku.

"Alhamdulillah Ya Allah, semoga aja ini awal yang baik buat aku sama Umi," batinku bicara.

"Anika?"

Terdengar ada yang memanggil, spontan aku menoleh ke arah sumber suara. Yang kukira itu Danish, tapi ternyata bukan.

"Iqbal?"

Laki-laki berlesung pipit itu tersenyum, ia berjalan menghampiriku dan Athaya yang hampir masuk ke dalam mobil.

"Ternyata benar kamu, aku kira salah orang." Iqbal berkata lagi.

"Om Iqbal!" seru Athaya.

"Thaya! Wah ... pangeran kecil Om apa kabar?" Tanpa ragu Iqbal membawa Athaya di kedua tangan. Menggedong anakku seperti saat kami masih dekat dulu. Mereka berdua masih terlihat akrab.

"Thaya abis beli apa di dalem?"

"Beli es krim."

"Ada berapa? Omnya tidak dikasih?"

Thaya menggelengkan kepala pelan. "Tidak boleh. Ini buat Thaya semua," jawab Athaya polos.

Iqbal terkekeh kecil seraya membenarkan posisi gendongannya.

"Kamu sama siapa?" tanya Iqbal.

"Sama suami, kamu?"

"Sendiri, kebetulan tadi mau beli sesuatu di sini, tapi malah melihatmu sama Thaya, jadi belok ke sini dulu," jawab Iqbal. Saat Iqbal mengobrol dengan Athaya, aku melirik ke arah Danish, suamiku sebentar lagi keluar dari minimarket.

"Sini, Nak. Thaya sama Ibu ya, kasian omnya nanti keberatan." Kuulurkan tangan, ingin mengambil tubuh Athaya, namun anakku malah enggan. Sepertinya Athaya memang rindu dengan Iqbal.

"Tidak mau."

"Ayo dong, Thaya kan sudah besar, masa mau digendong terus, kita masuk ke mobil, nanti sebentar lagi Ayah datang. Katanya Thaya mau pulang," bujukku lagi. Akhirnya perlahan Athaya mau juga turun dari gendongan Iqbal, langsung membuka pintu depan. Athaya lebih dulu masuk kedalam mobil.

"Hhh, andai aja waktu itu aku tidak terlambat, pasti Athaya bisa kugendong setiap hari."

Meski dia berkata pelan, namun perkataan Iqbal masih bisa kudengar.

"Apa?" Aku bertanya untuk memastikan. Sorot mata kami berdua saling bertemu. Senyum Iqbal sangat tipis.

"Iqbal?"

Pernikahan Kedua AnikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang