Mertua oh mertua

3.8K 324 21
                                    

Satu bulan setelah memutuskan berhenti bekerja.

Kurebahkan diri di ruang tamu setelah segala pekerjaan rumah kulakukan, mulai dari mencuci piring, baju, mengepel lantai sampai memandikan Athaya. Aku ingin melepas lelah sejenak. Menghela napas dan mengibas-ngibas jilbab yang kupakai agar memberi sedikit udara segar di badan. Jarum jam juga sudah mengarah tepat di angka 07:05 pagi. Danish pun sudah berangkat kerja pukul lima pagi tadi karena jarak dari rumah ke tempat kerja cukup jauh.

Athaya masih asyik bermain dengan mainannya di hadapanku, ruangan ini sudah berantakan lagi meski aku merapihkannya berkali-kali. Setiap hari, Bu Rosma selalu menggerutu karena rumahnya tak rapih-rapih, aku tak bisa marah sebab juga tak tega melarang Athaya bermain. Kuanggap, celotehan Bu Rosma sebagai angin lalu. Dan merapihkan mainan Athaya tanpa ada perdebatan.

Tiba-tiba mendengar suara sapu bergesek dengan tanah di depan rumah, perhatianku jadi buyar seketika.

Aku terbangun kemudian menghampiri Athaya.

"Thaya jangan kemana-mana, ya, Ibu mau keluar dulu sebentar," ucapku pada Athaya.

"Iya, Bu."

"Janji dulu."

"Iya, janji."

Athaya menunjukkan jari kelingkingnya sebagai tanda janji, aku tersenyum dan mengusap kepalanya sebelum berdiri. Khawatir tetap ada saat meninggalkan anak seorang diri walau hanya sebentar. Ucapan itu selalu kutanamkan pada Athaya. Agar dia tak pergi kemana pun atau memegang benda apa pun yang berbahaya.

Kulangkahkan kaki menuju luar rumah, melihat siapa yang tengah menyapu di depan.

"Umi?" ucapku heran.

"Waalaikum salam." Umi hanya sekilas menatap kedatanganku.

Menelan saliva dalam, aku jadi salah lagi karena melupakan satu hal di rumah ini. Peraturan pertama, mengucap salam jika bertemu.

"Maaf, Assalamu'alaikum. Umi, itu ... aku cuma mau bilang kalau aku sudah menyapu halaman ini tadi," ucapku pelan.

"Mana? Nyapu ko tidak ada bekasnya," ucap Bu Rosma.

"Bekas? Maksud Umi?" tanyaku. Melihat sekeliling halaman, kurasa ini sudah sangat bersih dan tak ada satu daun kering pun tersisa, bahkan semua sampahnya pun sudah kubuang pada tempatnya.

"Yang namanya nyapu itu harus tuntas, rumput-rumput liarnya mesti dicabut, tanahnya ditata lagi, disapu lagi. Kalau rumputnya tidak dicabut, nanti dia makin tinggi. Tidak enak dilihat, ini kan bukan rumah kosong."

Kuhela napas lagi, untuk kesekian kalinya pekerjaan yang kulakukan tak terpakai oleh Bu Rosma. Hanya bisa mengusap dada untuk menenagkan diri. Sabar ... ini pasti karena aku tidak tahu.

"Oh iya, Umi mau minta antar sama kamu."

"Ke mana?"

"Arisan, ke rumah Bu Yanti. Jam sembilan, ya."

Aku tersenyum tipis dan mengangguk pelan. "Iya, Umi."

"Satu lagi, itu ... emh. Oh, ya, Umi minta tolong sama kamu, tolong kamu bersihin panci yang ada di dapur," ucap Bu Rosma lagi.

"Loh, bukannya itu sudah bersih, Umi?"

"Jelas belum, Nika. Lihat bawahnya banyak kerak hitam, itu harus di kerik supaya bersih, tapi jangan keras-keras, nanti pancinya bolong." Dia terus berceloteh.

Aku melongo mendengarkan celotehannya.

Kembali ke dalam rumah dengan sedikit menggerutu, aku merasa seperti menjadi bawang putih di sinetron, harus ini itu, melakukan ini dan itu.

Pernikahan Kedua AnikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang