Arti Maaf itu?

4.7K 374 38
                                    

Tak lagi kami sebut nama Zahra atau pun yang berkaitan tentangnya. Karena Athaya pasti takkan mampu mengontrol dirinya lagi.

Melihat kondisi anakku, akhirnya Danish memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan dan membuka usaha sendiri. Ingin menemani kami dalam keadaan apa pun, meski harus mengurungkan niat awal membangun rumah untuk Ibuku.

Yah, separuh modal untuk membangun rumah itu kami gunakan untuk membuka usaha. Ini semua agar kami bisa menemani Athaya setiap harinya.

Alhamdulillaah. Walau pertama terasa sulit, Allah memang selalu berlaku adil pada hambanya yang taat. Walau tak besar, toko sparepart dan bengkel motor yang dibuka Danish selalu ramai pengunjung karena berada di posisi strategis. Dan keuangan kami pun bisa dikatakan cukup untuk memenuhi kebutuhan. Termasuk membawa Athaya ke rumah sakit.

***

Tahun-tahun berikutnya.

Saat usianya delapan tahun, aku memasukannya ke sekolah dasar. Itu kulakukan agar dia mau berbaur dengan yang lain, bermain dan belajar bersama teman seusianya dengan normal.

Dia tidak boleh sendirian, itulah salah satu proses untuk kesembuhannya yang lain. Sering mengajaknya pergi keluar rumah bersamaku dan Arvin, dia mulai menunjukkan sedikit perubahan.

Mulai ingin beradaptasi lagi bersama lingkungan, raut wajah bahagianya tak ayal membuatku mengucap syukur tiada henti.

Sampai saat satu malam ketika aku terjaga karena kerongkongan kering. Kulihat air dalam gelas sudah kosong tak berisi, jam masih menunjukkan pukul 3 pagi. Aku pergi menuju arah dapur hendak mengambil air minum.

Namun langkahku terhenti tepat di depan pitu kamar Athaya yang sedikit terbuka.

"Astagfirullaah." Tampak olehku tubuh Athaya terduduk di samping ranjangnya. Dia memeluk kedua lutut dan tak menyadari kehadiranku dalam beberapa saat.

"Thaya? Kenapa kamu belum tidur?"

Dia baru menoleh. "Aku tidak bisa tidur, Bu."

Kuusap rambutnya, mimpi itu pasti datang lagi. Meski dia tak pernah berteriak histeris, namun trauma itu masih melekat dalam dirinya.

Kubaringkan lagi dia di tempat tidur dan membenarkan posisi sampai nyaman. Menyeka keringat yang menetes di pelipisnya namun malah justru kutahu sedang terjadi sesuatu.

"Kamu demam, besok pagi kita ke dokter, ya," tawarku padanya tapi dia malah menggelengkan kepala. "Kenapa?"

"Ini pasti cuma masuk angin. Kemarin sore aku kehujanan, jangan ke dokter ya, Bu," jawabnya pelan.

"Hmh. Baiklah. Tapi sekarang kamu harus minum obat. Nanti Ibu ambilkan obatnya untukmu."

Athaya hanya mengangguk. Aku pun pergi ke ruang tengah mengambil obat-obatan yang tersedia dalam laci.

"Oh, ya. Besok lusa libur sekolah. Apa kamu mau pergi jalan-jalan?" tanyaku usai meminumkannya obat.

"Jalan-jalan?"

"Ya, jalan-jalan. Anak Ibukan sering juara kelas, tapi Thaya tidak pernah minta apa pun sama Ibu. Jadi Ibu pikir itu sebagai hadiah buat kamu. Kita akan pergi berempat dan bersenang-senang selama dua hari."

Pernikahan Kedua AnikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang