Keputusan, demi Athaya.

4.6K 330 33
                                    

Setelah pernikahanku dengan Danish dilaksanakan. Dengan berat hati aku harus pindah dari rumah Bu Dewi, Ibu mertua dari pernikahanku sebelumnya dengan Wingky. Danish mengajakku dan Athaya pindah kerumah baru yang dia miliki di daerah Purwakarta, namun hal itu belum terlaksana.

Bu Rosma namanya, seorang wanita paruh baya yang biasa dipanggil Umi oleh Danish itu adalah mertua baruku--orangtua Danish--beliau melarang kami pindah dan meminta kami bertiga tinggal di rumah bersamanya. Itulah alasan kenapa kami menunda niat awal sampai mendapat izin dari Bu Rosma.

Suasana baru, rumah baru. Kini aku benar-benar merasa asing. Rumah tempat tinggal keluarga Danish di daerah Jalan Cagak-Subang ini cukup besar dari rumah-rumah lain di sekitarnya. Dua buah mobil terparkir rapih di depan rumah, begitu juga di dalam, suasana serba putih dengan berbagai lukisan kaligrafi tertempel di dinding, tak ada satu pun benda menyerupai patung hewan atau manusia. Dan kesan pertamaku saat pertama menginjakan kaki di rumah ini adalah ... nyaman.

Setelah merapihkan pakaian kedalam lemari di kamar, aku duduk di tepi tempat tidur dan mengambil kotak P3K. Athaya sudah terlelap di tempat tidur. Waktu juga sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ini adalah hari ketiga atau hari terakhir aku dan Danish mendapat cuti dari Pabrik.

Tiga hari sudah aku menikah dengan Danish, dan tiga hari juga kami belum saling berhubungan. Karena aku masih belum siap dan Danish juga tak pernah meminta. Perlakuanku pada Danish masih seperti biasa, mengabaikan setiap kata-katanya. Tapi Danish begitu sabar menghadapi kelakuanku yang pasti menyakitinya. Ada rasa bersalah menggelayuti saat aku mengambil sikap itu. Atau mungkin karena Danish terlalu baik? Entahlah.

"Kenapa kamu belum tidur, Nika?" tanya Danish.

"Kamu tidak lihat aku lagi apa," jawabku seraya membuka lilitan perban yang membungus pergelangan tangan. Ini sudah terasa tak nyaman dan belum diganti. Biasanya Bu Dewi yang membantu menggantinya, tapi kini terpaksa kuganti sendiri karena tak tahu harus meminta bantuan siapa.

"Sini mana, biar aku lihat," ucap Danish. Dia memegang lenganku dan memeriksanya.

Aku sedikit meringis kesakitan, Danish membantu membuka perban di lenganku.

Jantung berdegup sedikit cepat saat mendapat sentuhannya, menelan saliva untuk menenangkan diri, tiba-tiba mataku terpaku menatapi mata sayunya yang fokus.

Danish.

Dia adalah suamiku sekarang, dia berkata akan bertanggung jawab terhadapku dan Athaya di depan orang tuanya langsung. Ah ... apa ini? Kenapa sekarang aku malah terhanyut dalam perasaan? Karena mungkin saja, Danish mengatakan itu karena dia kasihan padaku.

"Sudah."

"Emh." Lamunan terbuyar, aku melihat perban di tangan sudah diganti dengan rapih olehnya. Namun tangan Danish masih memegang tanganku, hingga spontan menariknya.

"Maaf," ucap Danish.

"Emh, i-iya, tidak apa-apa. Terima kasih buat ... ini."

Danis tersenyum tipis. "Nika, apa aku boleh bicara sesuatu?

"Bicara apa?"

"Besok, kita berdua akan mulai masuk kerja, apa aku boleh meminta satu hal padamu?"

Aku tak mengerti. "Maksud kamu?"

"Aku, ingin kamu berhenti kerja," ucap Danish.

"Tidak bisa," jawabku cepat.

"Nika--"

"Aku bilang tidak bisa ya tidak bisa, kamu tau kan, aku kerja di sana sudah lama! Dan lagi, kalau aku berhenti kerja, nanti bagaimana sama hutang-hutang aku di sana." Aku beranjak dari duduk, menyimpan kembali kotak P3K dan berjalan mengambil selimut yang ada di dalam lemari.

Pernikahan Kedua AnikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang