Amarah dan Dilema

4.1K 362 33
                                    

=>Alur Extrim, bikin emosi jiwa dan menguras air mata.
Mau yang ringan-ringan ada juga kok, kisah Athaya sama Enzy. Hihihi

Sorry menghilang beberapa hari. Kuota mepet eunk ... hiks.

___________________

Mengumpulkan tenaga semampunya kulihat sekeliling. Tempat ini ... bukan kamarku.

Cahaya lampu di atas menyilaukan pandangan yang masih samar. Tubuh terasa begitu lemas, kepala pun masih sangat pening.

Mendadak teringat bayi dalam kandungan, langsung meraba peutku di balik selimut.

Alhamdulillah ... bayiku masih ada, dia bergerak dan seaktif biasanya.

"Ibu," Serak suara kupanggil Bu Dewi yang entah berada di mana. Aku sendiri. Dikelilingi tirai berwarna biru yang menghalangi jarak pandang.

Terdengar suara tirai dibuka oleh seseorang setelah aku memanggil. Namun orang yang datang bukanlah orang yang kupanggil. Dia cepat melangkah menghampiri, aku membuang muka ke arah lain menghindari kedatangannya.

"Alhamdulillah ... kamu sudah siuman, Nika," lirih Danish seraya duduk di sebelah dan mengusap jilbab yang menutupi rambutku.

"Ibu ...."

"Nika, ada aku di sini."

"Ibu!" Meninggi intonasi suaraku. Memanggil Bu Dewi dan mengabaikan orang yang telah membuatku seperti ini. Menyingkirkan telapak tangan besarnya, sungguh masih terasa menyakitkan walau hanya bertatap muka.

"Aku mohon, beri aku kesempatan bicara denganmu, Nika. Sebentar saja, Bu Dewi ada di luar. Beliau sudah mengizinkan aku masuk untuk bicara berdua denganmu." ucap Danish.

"Pergi." Menepis tangannya yang menggenggam tanganku, Danish malah semakin mengeratkan pegangan tangannya. Aku tetap mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Yang tadi ... aku akan menjelaskan semuanya, sampai kamu mengerti dan tak ada lagi kesalahpahaman diantara kita. Aku tidak akan pergi sebelum bisa mengatakan yang sebenarnya padamu."

"Terlambat, Dan. Harusnya kamu menjelaskan itu semua sebelum kita nikah," ucapku datar.

Tangan Danish begitu hangat, semakin perih yang kurasa. Kenapa kehangatan ini justru yang malah menyakitiku. Danish membawa genggamannya, hingga aku bisa merasakan embusan napasnya di atas punggung jemariku yang dia raih.

"Maaf ... aku benar-benar minta maaf, Nika."

Air mata mengalir tanpa bisa kucegah, lirih suaranya terdengar menyayat hati. Aku diam.

"Ini benar-benar diluar kemampuanku, sesuatu yang memang seharusnya aku bicarakan, tapi tak pernah sanggup kuungkap karena takut menyakitimu."

Aku masih diam. Deras air mata mengalir. Tak bisa menahan sakit.

"Aku berani bersumpah atas nama Allah, bahwa tak ada sedikit pun niat membohongimu, menduakanmu atau bahkan melukaimu. Tak pernah terbesit walau hanya dalam mimpi, aku berani menduakan cinta kita. Kamu adalah satu-satunya perempuan yang kucintai, satu-satunya perempuan yang akan menjadi Ibu dari anak-anakku. Hanya kamu ... hanya kamu. Percayalah, Nika."

Dia mengeratkan pegangan, suaranya bergetar dan napasnya tak beraturan.

Ada apa? Kenapa dia terasa memiliki beban yang berat? Padahal harusnya aku yang tersakiti.

"Zahra ... dua tahun lalu kami berdua menikah karena perjodohan yang disepakati oleh kedua orang tua kami. Tapi, pernikahan itu--"

Kulepaskan pegangan tangannya agak kasar. Segera kuusap bening air mata yang menghalangi pandangan. Kutatap mata sayunya yang selama ini menghipnotis. Terlihat juga lebam di sudut bibirnya yang menempel. Itu pasti karena hantaman keras Iqbal padanya.

Pernikahan Kedua AnikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang