Istri Danish.

4.2K 363 35
                                    

Tolong jangan emosi saat membaca tulisan  ini mengandung kadar pelokar eh plukar ehh itulah pokoknya
😔

Istri mana yang tak kesal, mendapat telpon dari seorang wanita pada gawai suami. Segala pemikiran timbul. Apa mungkin? Mana mungkin? Bisa jadi dan bisa saja. Begitu banyak kelanjutan kalimat dari kata itu. Tapi tak berani mengambil kesimpulan sebab hal ini pun masih tidak jelas.

Pada akhirnya. Uring-uringan tidak jelas. Seharian hanya berada di dalam rumah. Sesekali menemani Athaya main dan sesudah itu kembali ke kamar.

"Assalamu'alaikum, Nika."

"Waalaikum salam," jawabku dari dalam.

Aku menoleh ke arah pintu. Suara Danish terdengar, namun tak turun dari tempat tidur dan menarik selimut. Tak acuh pada kedatangannya. Aku masih jengkel.

"Nika, apa kamu masih sakit?" tanya Danish.

Diam.

Merasakan Danish duduk di samping, aku pura-pura tak mendengar atau merasakannya. Dipegangnya keningku dengan lembut, dia pun berkata lagi.

"Apa kamu masih marah karena aku pergi kerja hari ini?"

Aku masih diam. Aku menarik selimut menutupi seluruh wajah. Membiarkan dia beranggapan apa pun.

"Nika, jangan marah. Bukankah aku sudah menepati janji? Atau, kalau kamu ingin pergi kerumah Bu Dewi sekarang juga aku siap."

Darahku semakin mendidih. Bagaimana bisa Danish bersikap tenang begitu? Sedangkan siapa tahu saja seharian tadi dia pergi dengan wanita yang menelpon tadi pagi.

Kubuka selimut dengan kasar lalu duduk menghadap langsung ke arah Danish, aku menatapnya tajam.

"Kamu sudah berani bohong sama aku, Dan."

"Bohong apa?"

"Seharian tadi kamu tidak kerja kan? Tapi kamu jalan sama perempuan lain?! Kenapa sih kamu harus bohong, Danish?!"

"Kenapa kamu bisa berpikiran begitu?" Danish bertanya dengan sedikit kerutan di kening. Dia pasti heran dengan kemarahan dan tuduhanku yang tiba-tiba.

"Tadi pagi ada yang nelpon ke Hp kamu! Dan itu perempuan! Dia siapa sih? Kenapa dia bisa akrab banget sama kamu?"

Hening sesaat, kulihat ekspresi wajah Danish yang tadinya heran malah terkekeh kecil. Tak secuil pun rasa bersalah atau pun marah.

Sekarang, aku yang tak mengerti, masih menatapnya dengan penuh keingintahuan.

"Kenapa kamu?"

"Jadi karena itu kamu marah?"

Kualihkan pandangan dan tak menjawab.

"Pasti Tari yang menghubungi kamu tadi pagi. Dia itu sepupuku, kebetulan aku dapat kerjaan di Bekasi. Tari meminta tumpangan karena dia ingin ke rumah orang tuanya yang di sana. Jadi tadi pagi aku berangkat bersamanya," jelas Danish.

Napas mulai bisa diatur, degup jantung mulai tenang setelah mendapat penjelasan darinya. Tatapan Danish tak menunjukkan kebohongan. Diaa pasti berkata jujur, dan aku percaya. Suamiku tak mungkin beralih hati apalagi bermain perempuan di luar sana.

"Beneran?" Sekali lagi aku memastikan.

"Iya, kamu percaya padaku kan?"

Aku tersenyum dan mengangguk pelan. Menyingkirkan segala alasan, mengambil pemikiran positif. Aku pun kembali luluh.

***

Bulan berganti. Kehamilanku mulai membesar. Alhamdulillah, dengan kasih sayang dan keadilan yang Allah Swt berikan kepadaku. Bu Rosma mulai bersikap baik. Bahkan sangat baik.

Pernikahan Kedua AnikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang