Amnesia Retrograde.

3.8K 344 15
                                    

Sebuah buku catatan kecil berada di tangannya. Buku itu adalah sebagai pengingat hal apa yang sudah dia lakukan juga untuk menulis nama-nama yang baru ditemui. Termasuk namaku yang berada dalam daftar nama baru yang pasti dia lupakan. Kurangnya kemampuan mentransfer memori jangka pendek menjadi jangka panjang mengharuskan Zahra membawa buku itu kemana-mana.

Di sini, Pak Abdurrahman mengumpulkan kami semua untuk mengambil kesepakatan. Menjelaskan dan memberi masukan bagaimana cara mengatasi masalah ini. Berkata secara halus, beliau memberi pengertian pada Zahra agar bisa membatasi diri. Meski dengan kondisi yang sekarang, beliau tidak serta merta mengizinkan Zahra terlalu sering mendatangi Danish yang sudah bukan makhramnya lagi.

Tapi sepertinya Zahra sendiri kurang menerima, entah dia masih ada perasaan terhadap Danish atau apa. Sejak tadi Zahra terus meminta izin agar fia diperbolehkan tinggal di sini meski hanya tiga malam.

"Umi, tolong. Izinkan aku tinggal di sini untuk sementara sebelum aku benar-benar harus melupakan semua tentang Danish. Aku mohon, Umi, Abi," lirih Zahra pada Bu Rosma.

"Sekali lagi, Abi mengerti maksudmu. Tapi Abi tidak bisa memenuhi keinginan itu karena akan menimbulkan fitnah," jawab Pak Abdurrahman.

"Umi, Abi, tolong ... hanya tiga hari, sesudah itu aku berjanji tidak akan kembali. Sekarang aku tidak berani berharap lagi, sebab aku tahu Danish sudah menjadi milik orang lain. Dengan catatan yang kupegang di buku ini, aku akan ingat perpisahan kami. Tapi, kalian pasti paham kalau tidak mudah melupakan begitu saja perasaan yang kupunya untuk Danish. Beri aku kesempatan untuk melihatnya selama tiga hari ini sebelum melepas Danish untuk selamanya."

Aku menoleh ke arah Danish, mata sayunya terpejam, napasnya tertahan dan dia masih diam hingga saat ini. Bu Rosma pun menitikan air mata, diusapnya pundak Zahra agar wanita itu bisa lebih tenang. Beliau juga pasti berat memberi keputusan.

"Saat membaca buku ini, hari minggu besok ada jadwal ke rumah sakit. Aku yakin, dengan pengobatanku setidaknya aku bisa terbiasa tanpa Danish. Jadi sebelum hari itu datang, aku meminta izin pada kalian untuk menerimaku di sini. Aku mohon, Umi ... Aku mohon." Zahra semakin menangis, meraih satu tangan Bu Rosma dan berkata sedemikian rupa hanya demi meminta izin pada kami semua.

"Baiklah ... Umi izinkan," jawab Bu Rosma.

Mataku membulat tak percaya, Bu Rosma bisa mengambil keputusan itu.

"Umi ... kenapa?" Danish langsung bertanya.

Pak Abdurrahman menambahkan pendapat. "Tidak bisa, Umi. Ini demi kebaikan Zahra."

"Umi tahu, Abi. Tapi apa Abi tega melihat Zahra menangis seperti ini? Apa artinya tiga hari, Umi akan bertanggung jawab atas Zahra."

"Aku keberatan, tidak seharusnya Umi mengambil keputusan itu. Sedangkan ini menyangkut rumah tanggaku, apa Umi tidak memikirkan bagaimana aku dan Anika?" sela Danish.

"Aku akan menjaga jarak denganmu, Dan," jawab Zahra.

Danish bertanya. "Benarkah?" Tajam tatapannya, seolah ingin menelusup kedalam hati Zahra.

"Ya."

"Aku tidak percaya."

"Umi, benar apa yang dikatakan Danish. Abi akan menghubungi orang tuanya agar mereka bisa menjemput Zahra ke sini," tambah Pak Abdurrahman.

"Danish, Abi! Sudah Umi katakan, kalau Umi akan bertanggung jawab. Sekarang Umi akan menemui ketua Rt untuk memeberitahu keberadaan Zahra di sini, suka atau tidak, Zahra sudah Umi anggap seperti anak sendiri."

Bu Rosma bersikeras, bahkan setelah bicara dia lantas mengajak Zahra meninggalkan kami semua.

Membuang napas yang agak sesak, keputusan sepihak Bu Rosma terasa menyakitkan di telinga dan hati.

Pernikahan Kedua AnikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang