Suasana Baru.

4.1K 385 19
                                    

PERNIKAHAN KEDUA
#DiaryAnika 20 ❤

Dua hari sudah terlewat. Sedikit perkembangan sudah terlihat pada diri anakku. Menunggu itu mengesalkan, tapi sekarang itu terasa sangat menyakitkan. Bu Dewi terus menemaniku setiap hari, bergantian menjaga Athaya yang tidak bisa ditinggalkan setelah dia didiagnosa terkena flek pada paru-parunya.

Lalu Danish? Dia ada. Bahkan tak pernah meninggalkan tempatnya kecuali saat datang waktu salat. Walau sering kuabaikan dia tetap datang, lagi dan lagi. Dia sungguh membuktikan ucapannya tak ingin meninggalkan kami, walau aku tak pernah tahu apa reaksi Bu Rosma padanya sampai detik ini.

"Ibu rindu sama Thaya." Kugenggam tangan kecil lemahnya, berharap dia bisa merasakan dan mendengar semua yang kukatakan.

"Thaya harus kuat, ya. Thaya bilang mau jalan-jalan, kan? Nanti kalau Thaya sembuh, Ibu akan antar kemana pun yang Thaya mau. Jalan sama dede baru, naik wahana, pergi ke kebun binatang, makan-makan. Kita akan melakukan hal-hal menyenangkan bertiga sampai puas. Kamu dengar, kan? Itu janji Ibu kalau Thaya sembuh," ucapku lagi. Sampai detik ini harapan itu masih ada, melihat dia tertawa dan bermain lagi ditambah calon adiknya yang lahir sebentar lagi. Kebahagiaan itu pasti akan datang pada kami.

"Allah akan selalu menjaganya, insya Allah dia akan sembuh, Nika."

Suara seseorang mengagetkanku, saat menoleh ke belakang ternyata Danish yang berbicara.

"Sejak kapan kamu ada di sini?" tanyaku. Walau tak pernah mengusir keberadaannya tapi aku tetap mempertahankan sikap tak acuh padanya.

"Lima menit lalu."

"Aku memberimu kesempatan bukan di tempat ini, tapi di luar." Aku tetap bersikap sinis padanya. Tapi berbeda dengan respon Danish yang lantas membuatku kaget.

Dia memelukku dari belakang hingga rasa hangat meresap.

"Walau berulang kali kau menolak kehadiranku, walau sebesar apa pun pertentangan Umi. Aku akan tetap datang, karena saat aku mengucap kata bismillaah saat meminangmu, aku telah berucap janji akan jadi imam bagi keluargaku apa pun yang terjadi. Demi Allah aku tidak akan pernah melanggar itu."

Aku hanya diam mendengar perkataan Danish. Dia sangat tulus, aku bisa merasakannya. Sebenarnya, ingin sekali kubalas pelukan Danish dan menangis keras. Aku ingin berkata kalau aku begitu rapuh menghadapi situasi ini tanpanya. Tapi hatiku masih terasa sakit jika mengingat alasan kenapa Athaya berada di tempat ini.

"Ibu ...."

"Thaya?" Aku dan Danish tersentak saat mendengar suara begitu tipis memanggilku.

"Alhamdulillaah, kamu sudah bangun, Sayang." Kuusap rambut ikalnya seraya mencium keningnya cukup lama, Athaya menatapku sendu. Dia seolah ingin berkata lebih, namun tampaknya hal itu belum bisa dia lakukan hingga air matanya jatuh menetes seraya menatapiku.

"Jangan menangis. Setelah ini Thaya tidak akan sakit lagi, Thaya tidak akan disuntik lagi. Jadi Thaya bisa main sama Ibu. Ini hanya sebentar, Sayang."

Aku berusaha sekeras hati tak menangis di hadapannya. Melihat Athayaku tersenyum tipis dengan anggukan pelan, dia juga tengah berusaha menahan sakitnya yang masih tersisa.

Sejurus kemudian pandangan Athaya berpusat pada sosok lelaki yang masih berdiri setia di sampingku, cukup lama. Sampai akhirnya senyum itu kian melebar dengan matanya yang berbinar melihat Danish menyambut manis senyumnya.

"Hai jagoannya Ayah," kata Danish.

"Hh--hai. Ayah, aku rindu Ayah," lirih Athaya begitu pelan. Perlahan dia mengangkat satu tangan lemahnya ke arah Danish, seperti biasa. Sikap polos seorang anak usia 6 tahun yang masih haus akan kasih sayang orang tua dan sentuhan dari seorang Ayah.

Pernikahan Kedua AnikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang