Syaqil

13 1 1
                                    

Gibran meremas rambutnya, khawatir. Keluarganya juga keluarga Felya berkumpul disini. Semua berharap-harap cemas. Menunggu seseorang keluar dari ruangan itu.

Ridwan diam, mematung. Syarafnya terasa tegang, ini kali pertamanya Ia membantah Papanya. Semua keadaan saat ini, adalah salahnya.

Salah karna menolak permintaan sang Papa. Ridwan tidak suka dipaksa, Ridwan terlalu kaku untuk dipaksa.

Semua orang menengok kearah suara pintu yang terbuka.
Menampilkan seseorang yang lengkap dengan jas putih setelan formalnya.

Gibran langsung menyerbu dokter itu dengan pertanyaan.

"Ngga perlu khawatir" semua orang bernapas lega. "Papa kamu cuma kaget aja. Beliau sudah sadar. Silahkan jenguk, tapi. Saya harap kalian tidak membuat beliau lebih terkejut lagi." Gibran menggangguk sebagai jawaban.

Semua masuk kedalam ruangan dimana Roy dirawat, pengecualian untuk Ridwan.

"Kenapa ngga ikut masuk juga?" Dokter itu belum pergi, Ia beralih menatap Ridwan.

"Aku ngga pantes jenguk Papa,Om" lirihnya.

"Kata siapa? Ridwan, Om tahu. Kamu tidak suka dipaksa, Om tahu betul bagaiamana sifat kamu. Kalau Om boleh kasih saran, turuti apa yang Papamu mau, Om sudah berteman lama dengan Papamu juga Roni, Om juga sudah hafal dengan sifat mereka.

Roy itu, walaupun menyebalkan, dia paling sayang pada orang-orang terdekatnya. Kamu percaya kan? Kalau ngga ada orang tua yang mau anaknya menderita?"

Ridwan mendengarkan penjelasan dokter yang notabenenya adalah sahabat Papanya dan juga Roni, Papa Felya dengan seksama.

"Makasih Om, atas nasehatnya."

"Sama-sama. Ya sudah, sekarang Om permisi dulu. Masih ada pasien lain yang butuh bantuan Om"

Ridwan mengangguk, tersenyum tipis. Tidak lama, senyumnya memudar. Dia masih memikirkan bagaimana caranya meminta maaf pada Papanya.

Logikanya berkata untuk pergi dari rumah sakit ini, tapi hatinya, perasaan sayangnya pada pria tua yang notabenenya adalah Papa biologisnya lebih besar.

Diambang pintu ruangan yang didominasi oleh warna putih ini, Ridwan dapat melihat raut kecemasan tergambar dengan jelas di wajah anggota keluarganya, terutama sang Mama.

Ridwan masih diam, berdiri diambang pintu menyaksikan aktivitas anggota keluarganya.

Felya yang berdiri bersisian dengan Gibran dibagian kiri, Eko yang memilih duduk di sofa yang di sediakan didalam ruangan VVIP ini, sementara Roni dan Ratih berada disisi bagian kanan bersama mamanya.

Ridwan melangkah maju, mendekati anggota keluarganya. Gibran menoleh, raut wajahnya berubah. Marah. Itu yang Ridwan lihat.

Seiring Ridwan mendekat Gibran yang pamit undur diri.

"Pa,Ma, Ayah, Bunda, Gibran mau pamit. Ada tugas kelompok. Nanti Gibran balik lagi ke sini buat jagain Papa."

Roy tersenyum, wajahnya tidak sepucat orang-orang sakit. Tersenyum, menyetujui apapun yang akan dilakukan putra bungsunya itu.

"Mau kemana?" Sebenarnya Ridwan tahu, adiknya tidak ingin melihatnya. Itu terlihat dari cara Gibran menatap Ridwan tak suka.

"Kerja kelompok"

Gibran lebih memilih untuk pergi dari ruangan itu daripada emosinya Ia luapkan disana. Selama ini Gibran bersabar. Semakin lama Ridwan semakin menyebalkan. Itu yang Gibran rasakan.

_______

Sebuah tangan mengelus pundak Gibran, tubuh Gibran menegang. Dia tahu milik siapa tangan yang ada dipundaknya, gadis manja yang membuatnya merasa serba salah saat mereka berada dalam jarak dekat.

DiLyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang