[04]

434 94 90
                                    

SELAMAT MEMBACA

⚘⚘⚘

Pagi yang cerah dengan langit selatan begitu hingar-bingar penuh cahaya. Arga sampai di sebuah rumah dengan cat berwarna coklat, bentuk rumahnya joglo tradisional dengan ukiran Jepara menjadi hiasan di kusen jendela dan pintu. Sangat autentik. Ditambah dengan halaman teras yang luas, yang banyak ditumbuhi tanaman-tanaman hias dan pohon mangga besar.

Seorang wanita setengah baya menyambut hangat Arga ketika ia memasuki halaman rumah. Wanita itu tubuhnya agak berisi dengan balutan pakaian yang sudah rapi, wajahnya tersenyum bersahaja dengan tatapan tenang, tapi juga ada ketegasan di wajah setengah bayanya.

"Bulik Zul," sapa Arga sembari mencium tangan wanita yang ia panggil Bulik Zul itu.

Bu Zulaikha atau yang Arga panggil Bulik Zul itu adalah adik dari ibunya. Arga sudah dekat dengan buliknya sedari ia kecil setelah ibu dan ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan ketika ia masih di sekolah menengah pertama. Membuat Arga hanya tinggal berdua saja dengan neneknya yang merupakan ibu dari ayahnya. Bahkan, Bu Zulaikha sudah menganggap Arga seperti anaknya sendiri. Arga sering sekali tidur dan menginap di rumah itu bersama anak tunggal Bu Zulaikha yang akan berangkat ke Demak melanjutkan pendidikannya ke pondok pesantren. Itulah alasan Arga datang pagi-pagi sekali ke rumah Bu Zulaikha, untuk berpamitan langsung dengan Fajar, saudara sepupunya yang sudah seperti adik dan sahabat baik baginya.

"Eh, Mas Arga. Kapan datang?"

Fajar menemui Arga yang baru saja masuk sampai ke ruang makan.

"Baru aja kok, jam berapa ke Demaknya?" kata Arga sembari duduk di meja makan bersama Fajar dan Bu Zulaikha.

"Pagi ini juga, Mas," jawab Fajar yang suaranya lembut dengan siapa saja ia berbicara.

"Loh, Arga. Kapan kamu datang, le cah bagus?" tanya Pak Hasyim, ayah Fajar yang muncul dari kamarnya menuju ke meja makan.

Pak Hasyim adalah suami Bu Zulaikha dan ayah dari Fajar. Lelaki paruh baya itu adalah seorang ahli agama di sekitar daerahnya. Ia biasa dipanggil Abah oleh Arga dan orang-orang di sekitarnya. Pak Hasyim beperawakan tinggi tegap dengan jenggot agak lebat dan sedikit panjang, nyaris menutupi setengah dari wajahnya. Tatapannya teduh menenangankan hati jika dipandang. Arga sudah menganggapnya sebagai ayahnya sendiri. Ia sering kali berbagi kebahagiaan dan kesedihannya pada Pak Hasyim. Pun Pak Hasyim sudah sangat menyayangi Arga seperti anak kandungnya sendiri.

"Abah, Arga rindu sekali. Sudah lama nggak ke sini, Bah," kata Arga sembari mencium tangan Pak Hasyim takzim.

"Iya le, lama kamu ndak ke sini." Logat jawa Pak Hasyim terdengar begitu kental.

Mereka pun memulai sarapan pagi ketika Pak Hasyim sudah mengambil duduk. Berbagai lauk-pauk sudah Bu Zul hidangkan. Ada opor ayam lengkap dengan lontong, ada beberapa lauk lain yang menggugah selera sisa dari acara tasyakuran semalam. Semua makanan itu memenuhi perut Arga dengan cepat. Pak Hasyim segera bersiap-siap mengantar Fajar ke Demak beserta Bu Zulaikha, sementara Fajar mempersiapkan barang-barangnya sendiri setelah sarapan usai.

"Bah, Bulik, Arga berangkat sekolah dulu, hati-hati di jalan Abah, jangan ngebut nyetir mobilnya, Bulik juga jangan lupa minum obat biar ndak mabuk perjalanan, ya," ucap Arga sembari menyalimi keduanya yang mengangguk sembari terkekeh-kekeh dengan ucapan Arga. Amat sayang Arga dengan mereka, hingga selalu khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu pada keluarganya itu.

"Baik-baik juga kamu Jar, jangan godain cewek-cewek pondok, dosa," kata Arga menggoda Fajar yang sedari tadi hanya senyum-senyum melihat kakak sepupunya itu.

Diantara Doa Aku Mencintaimu [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang