SELAMAT MEMBACA
⚘⚘⚘
Pagi menyingsing tanpa Ayana sadari ia hampir terjaga semalam penuh memikirkan gitar kakaknya yang hilang. Ayana benar-benar merasa sepi sekarang. Seperti tak ada daya dan upaya untuknya memulai aktivitas. Hari Minggu yang memaksanya kesepian tanpa kawan dan tanpa gitar itu. Apa yang hendak Ayana lakukan selain kembali merebahkan diri di kamar setelah salat subuh. Kepalanya pening, berdenyut-denyut. Badan Ayana pun turut terasa panas dan desahan napasnya mulai berat. Ayana sangat tak bertenaga. Ia kembali hilang kesadaran.
"Ay, kamu belum bangun?" tanya Bunda setelah masuk kamar Ayana yang hanya sanggup menggeleng saja setelah suara Bunda membangunkan sadarnya.
"Aduh badanmu panas, sayang," kata Bunda lagi ketika menempelkan tangannya di dahi Ayana yang beringsut.
"Ayana nggak apa-apa kok, Bun, cuma butuh istirahat aja."
"Ya udah, Bunda kompres, ya." Bunda berlalu dan kembali beberapa waktu kemudian membawa air dan handuk serta makanan untuk Ayana sarapan.
"Makan dulu, udah gitu minum obat," tambah Bunda.
Setelah selesai makan dan minum obat, Bunda mengompres putri satu-satunya itu. Ayana menjadi anak tunggal ketika kakak laki-lakinya meninggal karena kecelakaan beberapa tahun silam. Ayah dan Bunda jadi sangat ketat mengawasi putri semata wayangnya itu. Keduanya takut terjadi hal-hal tak diinginkan pada Ayana seperti kakaknya dulu dan Ayana sangat paham itu.
"Udah, istirahat, ya. Bunda keluar dulu. Oh iya, siang nanti Bunda dan Ayah mau ke rumahnya Pak Hasyim, jenguk beliau setelah pulang dari rumah sakit. Kamu nggak apa-apa kan di rumah sendiri?" kata Bunda, Ayana mengangguk.
Yang Ayana bisa lakukan sekarang adalah melelapkan diri dalam tidur karena obat yang ia minum harus bekerja optimal di tubuhnya. Sungguh setelah itu, semuanya gelap dan hening. Ayana hilang kesadaran dalam tidur lagi.
Tok tok tok.
Suara itu mengganggu lelap Ayana. Ia sungguh tak menghiraukannya dan kembali pada kenyamanan di bawah selimut lembut, berharap Bunda atau Ayah yang membukakan pintu. Jika ada tamu, Ayana harap tak terlalu penting. Ayana kembali terpejam.
Setelah hampir setengah jam Ayana diam dalam lelap, suara ketukan pintu itu masih terdengar ditambah dengan suara salam. Ayana berdiri lantas berjalan keluar kamar sembari menengok jam di dinding, ternyata hari sudah siang dan ia pun baru ingat kalau Ayah dan Bunda pergi ke rumah Pak Hasyim. Suasana rumah menjadi sepi sementara ketukan pintu menjadi semakin sering. Ayana bergegas saja berjalan menuju pintu depan dengan tampang acak-acakan.
"Iya, sebentar," kata Ayana saat ketukan pintu masih terdengar di ikuti salam.
"Waalaikumsa—" kata Ayana tergantung setelah ia mendapati sosok yang bertamu adalah Arga dengan senyum simpul menatapnya.
Ayana lusuh sekali pun tak memakai jilbab di hadapan Arga. Tampangnya acak-acakan setelah ia bangun dari lelap tidurnya. Setelah tersadar dari keterkejutan, Ayana langsung berlari menuju kamar. Berganti pakaian, Ayana juga tak lupa mandi dengan kecepatan kilat meninggalkan Arga yang masih berdiri di depan pintu yang secara otomatis tertutup kembali. Malu sekali Ayana.
Ayana kembali dan membuka pintu setelah berpakaian memadai dan memakai jilbab. Arga masih di sana dengan tersenyum ringan pada Ayana yang turut tersenyum canggung bercampur malu.
"Assalamualaikum. Apa kita harus berdiri terus di depan pintu, nih?" katanya tertawa kecil ketika Ayana masih tersenyum canggung.
"Waalaikumsallam, eh iya Mas Arga. Masuk atuh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Diantara Doa Aku Mencintaimu [End]
EspiritualAku, Ayana putri. Ini kisah tentang perjalanan cintaku yang amat sangat rumit. Tentang perjodohan ku dengan seorang pemuda berpendidikan pondok pesantren bernama Fajar. Sementara, dalam perjodohan itu hatiku sudah terpaut oleh lelaki bermata teduh d...