[20]

179 22 49
                                    

Pagi menyingsing penuh perhatian pada mentari yang masih malu-malu muncul di ufuk timur. Tampak indah dari puncak kebun teh, para pemetik teh juga sudah bersiap memetik pucuk-pucuk teh yang masih tertimpa embun.

"Mbak." Anita menoleh dengan panggilan seorang gadis di sampingnya. "Mbak udah lama sahabatan sama mas Arga?"

Anita tersenyum. "Ayana, aku sama Arga udah sahabatan sejak awal kami masuk kuliah."

Kedua gadis itu berjalan-jalan menyusuri kebun teh bersama sementara Arga jauh di belakang mereka, bercengkrama dengan Pak Pardi.

"Kamu jangan pernah mikir aneh-aneh soal aku sama Arga, ya." Anita tersenyum.

"Tapi, Mbak juga cinta kan sama Mas Arga?" Ayana dengan spontan mengatakan itu dan Anita terlihat terkejut bukan main. "Semua terlihat jelas dari mata Mbak."

"Yah, aku nggak bisa bohong ke kamu Na. Jujur memang seperti dugaanmu." Anita menepuk pundak Ayana dan tersenyum dipaksakan, rahasianya terbongkar. "Tapi kamu tenang aja, kamu tetep yang menang di hati Arga."

"Mbak, maaf."

"Buat apa minta maaf? Takdir yang membuat kamu ketemu Arga lebih dulu dari pada aku, Na. Jangan minta maaf, kamu nggak salah. Ini takdir." Anita membelai kepala Ayana yang berbalut jilbab hitam.

Mendadak Arga muncul di belakang mereka. "Pada ngomongin apa sih? Serius banget."

"Bukan apa-apa, kok." Anita menggeleng dengan cepat memberi kode pula pada Ayana agar setuju dengannya. "Biasa masalah perempuan."

Anita berlalu meninggalkan Arga dan Ayana berdua. Perasaan Arga berdebar setiap berada di sisi gadis itu. Arga menghela napas menenangkan dirinya.

"Aku duluan ya ke villa." Anita sudah hilang ditelan tikungan jajaran tanaman teh yang berkelok-kelok.

Tinggallah Arga mencoba mensejajari langkah kaki Ayana. Keduanya saling membagi senyum bergantian dengan menatap langit yang di hadapkan pada fajar yang menyingsing indah.

"Fajar." Ayana bergumam lirih tapi masih mampu Arga dengar.

Pikiran Arga mendengar kata Fajar yang Ayana lontarkan memunculkan sebuah visual pemuda ramah yang Arga kenal, yaitu sepupunya bernama Fajar, pemuda yang di jodohkan dengan Ayana. Arga mencoba menguasai keadaan dirinya dan hatinya sebab Ayana belum tahu jika ia bersaudara dengan Fajar.

"Ada apa?" Arga mendapati perbedaan raut wajah Ayana ketika melihat pemandangan matahari terbit di kaki langit.

"Fajar itu indah ya Mas Arga?" Ayana bergumam sembari matanya menerawang jauh ke langit nan di penuhi embun.

"Fajar yang mana?" Hati Arga riuh oleh kegelisahan, jangan-jangan fajar yang di maksud adalah yang dijodohkan dengan gadis itu.

"Itu," Ayana menunjuk langit berembun dengan matahari yang baru muncul. "Memang fajar yang mana lagi?"

Arga terkekeh menutupi sesuatu dalam batinnya. Fajar yang Arga maksud adalah sepupunya sudah pasti dan Arga hanya berharap fajar yang Ayana maksud adalah pemandangan.

Sementara dalam batin Ayana, tak kalah bergetar dengan kata fajar yang terlontar dari mulutnya.

"Iya indah, tapi senja jauh lebih indah." Arga menatap Ayana lekat. "Sebab senja itu kamu, Ay."

"Lalu, Mas Arga itu apa?" Ayana membalas tatapan lekat Arga.

"Kamu lebih suka senja atau fajar?"

"Ehm, dua-duanya indah, Mas. Aku nggak bisa memilih."

"Maka biarkan aku jadi malamnya supaya aku bisa menjadi jalan antara senja sampai ke fajar," kata Arga mengedarkan pandangannya, ada sesuatu yang ia sadari lebih penting dari perasaanya pada Ayana.

"Lalu siang, Mas Arga?" Ayana tampak gusar juga, tak mengerti maksud Arga.

"Siang adalah matahari, dan matahari adalah sumber dari semuanya, Ay. Awal dari senja adalah matahari yang terbenam, malam adalah sinar bulan yang berasal dari matahari, dan fajar juga adalah matahari yang sedang terbit. Matahari adalah lambang keluarga, Ayana."

"Aku nggak ngerti maksudmu, Mas." Ayana menggeleng sembari sedikit berkaca, ada sesuatu berdenyut di jantungnya. "Tapi yang pasti, kita sama-sama saling merasa."

"Ada hal penting yang belum kamu tahu, Ay," Arga lirih suaranya. "Hal penting yang mungkin akan merubah semua hal."

"Apa Mas?"

"Biar waktu dan takdir Tuhan yang menjawab segala gelisah kita, Ay."

"Aamiin."

Kebun teh sudah mulai disinari matahari dan embun sudah mencair hilang ditelan awan-awan yang berlari ke sana kemari tertiup angin. Keduanya kembali ke villa dan bersiap untuk kembali pulang sebab mereka ada kelas di kampus.

Ketika pulang, Ayana membonceng mobil bersama Anita, bukan naik motor dengan Arga sebab Arga harus kembali ke kafe milik temannya Mahesa untuk bekerja paruh waktu sebelum waktu kuliahnya tiba.

"Na, kenapa ngelamun?" Anita membuka suara dari keheningan yang menikam.

"Jangan ngelamun di sini, bahaya," sahut Pak Pardi yang menyetir mobil sambil terkekeh. "Nanti kesambet loh."

"Pak Pardi jangan gitu." Anita ikut terkekeh, tapi tidak dengan Ayana. "Ada apa sih Na? Cerita aja sama aku."

"Nggak kok Mbak, aku nggak apa-apa."

"Kamu yakin?"

Ayana hanya mengangguk lalu dering dari ponselnya mengalihkan perhatian gadis itu. Panggilan suara masuk dari Fajar, nama itu membuat Ayana melonjak kaget.

"Siapa yang telepon? Kok nggak diangkat, Na?"

"Belum sempet diangkat udah mati duluan Mbak."

Anita mengangguk paham dan tidak bertanya lagi. Keduanya menempuh perjalanan dengan saling diam, sibuk sendiri dengan pikiran masing-masing hingga sampai di depan indekos Ayana yang tampak sepi. Ayana turun lalu tersenyum pada Anita yang lantas berlalu.

Dalam lubuk hati Anita, ia nanar dengan kisah cinta sahabatnya dan adik tingkatnya itu karena akan sangat rumit. Anita tadi melihat dengan jelas di ponsel Ayana bahwa panggilan telepon yang tidak diangkat itu dari Fajar.

"Bukankah Fajar itu nama sepupu Arga yang dijodohin sama Ayana?" Anita bergumam sendiri lirih sehingga Pak Pardi tidak sampai mendengar.

Anita menghela napas panjang memahami segala kerumitan kisah yang melibatkan dirinya ini. Ah dasar cinta. Entah siapa yang salah dan siapa yang benar hanya Tuhan yang tahu alur waktu. 

Salam hangat

Sarah❤

Diantara Doa Aku Mencintaimu [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang