[09]

205 46 20
                                    

SELAMAT MEMBACA

⚘⚘⚘

Malam begitu sunyi dengan embusan angin lembut membelai dingin ke kulit. Ketika sampai di sebuah rumah bergaya modern dengan pagar pendek putih dan banyak di tumbuhi bunga-bunga berbagai rupa dan warna, angin berembus menggoyangkan tumbuh-tumbuhan. Menyiratkan kehidupan yang saling bertautkan sesuai kehendak Tuhan.

"Kita sampai, Abah," kata Fajar pada abahnya yang duduk di kursi belakang bersama ummi-nya.

"Alhamdulilah," sahut Bu Zulaikha yang segera merapikan penampilannya.

Fajar yang duduk di belakang kemudi itu lantas memarkirkan mobilnya tepat di depan pagar putih itu. Mereka pun turun dari mobil. Bersamaan dengan itu keluarlah sesosok pria setengah baya dari rumahnya sembari menenteng helm hendak mengeluarkan motornya.

"Assalamualaikum, Ayah, mau ke mana malam-malam seperti ini?" Fajar langsung menyalami tangan lelaki yang ia panggil ayah itu ketika mendapatinya terkejut dengan kedatangan Fajar sekeluarga.

"Waalaikumsallam, Fajar. Ini ayah mau jemput Ayana, dia kan ke Solo pagi tadi belum pulang katanya sudah sampai terminal," jawab Ayah sembari menyalami Pak Hasyim.

"Ya sudah, biar Fajar saja yang jemput Ayana," kata Bu Zul memberi usulan.

"Iya, Ayah, biar Fajar saja." Fajar lantas saja menuju mobil.

"Iya sudah kalau begitu nanti kamu telepon dulu Ayananya ya, Jar," kata Ayah meletakan lagi helmnya. "Ayo-ayo Pak Hasyim dan Bu Zul kita masuk, nggak enak ngobrol di luar."

"Iya." Pak Hasyim dan Bu Zul langsung saja mengikuti.

Fajar tanpa komando pun langsung saja bergegas. Di dalam mobil sebelum berangkat, ia masih sempat menelepon Ayana, sekedar memastikan saja. Gawainya masih bergetar, belum diangkat oleh Ayana. Hatinya pun turut berdebar.

"Hallo assalamualaikum."

Suara dari seberang membuat Fajar mendadak kaku, segera Fajar menguasai diri.

"Wa-waalaikumsallam, Na." Fajar sedikit terbata menjawab Ayana, entahlah lidahnya cukup kelu mungkin karena lama tak bertukar kata dengan Ayana.

"Ada apa?"

Suara Ayana lembut sekali di telinga Fajar membuat berdebar hatinya. Fajar akhirnya sudah tenang dan menguasai dirinya untuk bersikap biasa saja. "Iya, saya mau jemput kamu di terminal, Na," katanya.

"Ayah ke mana?"

"Nanti saya jelaskan Na, nggak enak nanti kamu menunggu lama di terminalnya," kata Fajar segera melajukan mobilnya meninggalkan pekarangan rumah. "Ini saya dalam perjalanan ke sana Na, assalamualaikum."

"Iya Fajar, waalaikumsallam, hati-hati di jalan!"

Suara Ayana di seberang sana menutup telepon dari Fajar sembari menggiring pemuda itu dengan senyum. Fajar melajukan mobilnya cepat membelah malam di jalanan kota Purwodadi yang lengang. Dalam hatinya, ada desiran lembut sebab tak sabar ingin segera bertemu dengan seseorang yang selalu ia sebut dalam rapalan doanya selain kedua orangtuannya. Ada rindu yang menghujam hati Fajar. Terlebih ia tak bertemu dengan Ayana hampir setahun lamanya. Ia berharap dalam setiap doanya agar perjodohannya dengan Ayana akan berjalan lancar sampai keduanya siap untuk mengesahkan segalanya. Subhan Allah, hati Fajar sungguh menginginkannya.

"Aku merindukanmu," gumam Fajar lirih pada dirinya sendiri.

Fajar terus melajukan mobilnya. Bulan bersinar temaram. Suasana masih cukup ramai di terminal bus kota Purwodadi meski malam hari. Untunglah ramai, hati Fajar cukup khawatir jika terjadi sesuatu pada Ayana. Terlebih zaman sekarang rupa-rupa macam kejahatan sering terjadi pada wanita. Ayana sudah ada di pelupuk mata Fajar ketika ia menyapu seluruh isi terminal.

Diantara Doa Aku Mencintaimu [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang