8. Hurt Road

608 113 24
                                    



"Key."

Setelah tiga hari lamanya, untuk pertama kali Anggun memanggil kembali namaku. Setelah tiga hari kami duduk bersama dengan puasa bicara, akhirnya puasa itu telah menemukan waktu berbuka.

"Ada apa?"

"Kamu marah ya sama aku? Kenapa diem aja dari kemarin?"

Aku mengernyitkan dahi tak mengerti. Bukannya dia yang waktu itu berteriak marak dan memakiku? Bagaimana bisa aku memulai pembicaraan setelah mengetahui jika aku adalah sosok yang paling dia benci.

Aku marah?

Tentu saja aku marah, aku kecewa. Tapi aku tak memiliki ha katas perasaan itu. Karena akhirnya aku tahu jika aku tidak bisa mengatur tanggapan orang lain terhadapku.

"Aku tahu, aku salah. Aku mintaa maaf. Nggak seharusnya aku bilang kayak gitu."

"Kamu bebas bilang apa aja."

Entah mengapa aku tak sanggup untuk balik menatap Anggun. Karena aku tahu, jika sekali aku menatap matanya, aku akan kembali menangis. Sekarang saja, rasanya air mata sudah berada di pelupuk. Cepat-cepat aku membereskan buku untuk segera keluar dari kelas, namun Anggun menarik tanganku. Dia bahkan meremas tanganku,

"Key, sori. Tapi... aku boleh kan pacaran sama Arga."

Aku mengangakan mulut tak percaya. Aku tidak tahu Anggun menanyakan hal itu dengan sengaja untuk semakin menyakiti perasaanku atau dia memang sedang meminta izin. Tapi walaupun dia tidak sengaja, dia tahu jika pertanyaan itu memang menyakitiku karena dia bahkan sudah mengucapkan kata maaf.

"Aku sama Arga udah putus, jadi ya terserah kamu mau pacaran sama dia atau enggak."

"Oh, okay."

Aku akhirnya mulai melangkah menjauh, namun langkahku harus terhenti saat mendengar gumaman Anggun.

"Toh, kamu udah main curang sama Brian."

Aku menatap Anggun tak percaya. Baru saja dia mengucapkan maaf, tapi dengan sengaja kembali menyayat hatiku dengan ucapannya.

Jika bisa, aku sungguh ingin menamparnya namun aku masih memiliki akal sehat. Aku tidak mungkin mengundang keributan teman-teman di kelas. Saat ini saja aku tahu jika beberapa orang sudah menjadikanku dan Anggun sebagai objek gosipan.

Kabar putusnya aku dan Arga memang dengan cepat tersebar ke penjuru sekolah. Beberapa ada yang menyayangkan, namun lebih banyak berteriak senang. Kata mereka, akhirnya si pangeran sekolah bebas.

"Ayo pulang."

Brian menarik tanganku dengan paksa agar aku segera keluar dari kelas. Teman-teman yang tadinya hanya saling berbisik seketika menjadi riuh.

"Beneran sama Brian, anjir!"

"Nggak nyangka gue! Kok bisa ninggalin Arga buat cowok brengsek kayak Brian!"

Kini mereka sengaja mengucapnya keras-keras. Amarahku rasanya sudah mendidih. Tapi walaupun aku berteriak sekeras mungkin untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, tidak akan ada yang percaya padaku—tidak ada yang berada di pihakku. Buktinya, satu-satunya orang yang kupercaya di sekolah ini yang telah menancapkan sebilah pisau padaku. Tidak ada yang bisa dipercaya. Tidak ada.

Aku menghempaskan tangan Brian yang tadinya menarikku, membuatnya menoleh padaku. Selebar mungkin aku mengulas senyum hingga menciptakan kerutan di dahinya. Aku balik meraih tangan Brian dan menggenggamnya dengan erat. Kerutan di dahi Brian semakin dalam, namun di detik kemudian dia ikut tersenyum.

FATAMORGANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang