19. The Key Of Heart

473 89 33
                                    


Key POV

Brian sepertinya sedang gila.

Seratus persen gila.

Coba, kalau bukan gila apa namanya?

Bagaimana bisa dia mengajak pacaran dengan gaya sesantai itu?

Kayak ngajak main bekel aja.

Dan lagi—dia lupa ya kalau selama ini, dia sendiri yang bilang jangan sampai saling suka. Jangan baper. Jangan jatuh cinta. Pokoknya jangan-jangan yang lain kalau masalah hati.

Tapi, sekarang?

"Masih nggak bisa move on sama Arga?"

Aku yang sejak tadi berusaha menghindar dari Brian dengan memalingkan wajah pada kaca jendela mobil langsung menatap Brian dengan tak habis pikir.

Rasanya, apa pun yang keluar dari mulut Brian saat ini terdengar tak masuk akal.

"Kenapa jadi nyebut-nyebut Arga?"

"Kamunya diem terus dari tadi. Nggak jawab iya atau iya gitu."

"Iya atau iya? Yang bener 'iya atau enggak', Mas."

"Soalnya kamu pasti nerima, Key."

"PEDE BANGET?"

Sudut bibir Brian membentuk senyum. Sejak di rumah sakit tadi dia sering menunjukkan senyum dua senti itu padaku. Bahkan saat perawat datang untuk melepas infus di tangan, Brian ikut memberi senyuman langkanya.

Apa dia mau niru-niru kak Juli yang doyan senyum? Ya, tapi kan kak Juli senyumnya manis banget, kalau Brian senyumannya bikin orang jantungan.

"Aku tahu kamu juga sayang aku, kan?"

Brian semakin mengembangkan senyumnya. Sumpah ya, jangan-jangan dia ketempelan jin di rumah sakit?

Tanpa aba-aba Brian mengarahkan tangannya menuju kepala. Mengelusnya pelan sambil berkata, "Hari ini bikin aku sadar kalau aku nggak suka liat kamu sedih, nangis, atau sampai coba bunuh diri gitu."

Senyum di bibir Brian mengehilang, terganti oleh mata dalamnya yang basah. Dia benar-benar merasa bersalah sepertinya.

"Kamu juga buktinya sedih kan aku bersikap dingin kayak tadi pagi? Takut aku pergi."

Aku kehabisan kata-kata. Jadilah aku kembali memalingkan wajah dari Brian dan memilih menatap langit dari balik jendela. Langit sore ini sedang indah. Entah karena sedang senja atau karena ada Brian yang duduk di sampingku.

Iya. Sepertinya aku juga sudah gila. Bagaimana bisa hanya dengan kehadiran Brian bisa membuat segala rasa tercekik yang kurasakan seharian ini bisa sirna?

Hari ini kupikir menjadi hari yang kutakutkan. Hari di mana aku akan kembali kehilangan orang yang kusayang. Aku pikir Brian benar-benar akan pergi seperti papa. Aku pikir dia benar-benar menganggap janji untuk saling berjuang itu sampah.

Aku memang sudah menyadari sejak awal jika aku bisa jatuh dengan mudah pada Brian karena dia satu-satunya orang yang mengerti perasaanku; satu-satunya yang mengetahui apa yang selama ini kusembunyikan rapat-rapat. Intinya, dia menjadi satu-satunya yang mengerti bagaimana seorang Keysha. Aku merasa terlindungi saat bersama Brian. Aku menemukan sosok papa dalam diri Brian. Kasih sayang yang kurindukan dari sosok papa akhirnya bisa kuterima melalui perhatian-perhatian kecil yang berikan padaku. Jika ada yang bertanya kenapa aku menyukai Brian, secara ringkas jawabannya: Brian datang di waktu yang sangat tepat.

Aku berjengit kaget saat ada rasa hangat menyapa kulit tangan. Saat kulihat, ternyata Brian sudah menggengam tanganku erat-erat.

Brian sudah gila.

FATAMORGANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang