12. Lorong Yang Tak Berujung

622 112 34
                                    

"Key!"

Aku selalu takut ketika mendapat telepon dari mama. Seperti sekarang ini. dengan tiba-tiba mama memanggil namaku dengan suara tinggi dan ketakutan. Pasti ada hal buruk.

"Ada apa, Ma?" Aku bertanya, takut-takut. Tangis mama yang pecah ikut meremukkan hati.

"Cepat pulang! Kakakmu..."

Benar kan.

"Key pulang. Mama yang tenang."

Sambil mengapit ponsel di telingan dan bahu, aku mulai membereskan buku-buku yang baru saja aku keluarkan untuk memulai les.

"Mama nggak bisa nemuin Anya."

Tanganku sebenarnya sudah bergetar hebat setiap mama berbicara. Segala pikiran-pikiran buruk datang dan semakin memperkeruh keadaan.

"Iya, Ma. Key pulang secepatnya."

Ketika telepon terputus, dengan cepat aku berdiri dan Brian yang baru saja ganti baju menghadang jalanku.

"Mau ke mana?" tanyanya dengan dahi yang berkerut.

"Kak Anya hilang lagi," jawabku sambil kembali berjalan melewati Brian, namun Brian malah menarik tanganku dan menghentikan langkahku lagi dan lagi.

"Aku antar."

"Jangan. Bunda sama Mika kan mau pulang."

"Key."

"Lagian aku udah pesen ojek."

Aku tahu jika Brian mengkhawatirkan keadaanku, tapi aku tidak bisa membiarkan dia ikut denganku dan mengabaikan Mika. Aku ingin Mika merasa bahagia mengetahui kakaknya menunggu kedatangannya.

Lagipula, selama ini aku terbiasa mengurusi masalahku seorang diri. Sejak kedatangan Brian, tanpa kusadari aku jadi terlalu bergantung padanya dan menjadi pribadi yang lemah.

Di tengah perjalanan, dengan menahan tangis dan gelisah, nyatanya Tuhan malah menempatkanku di posisi yang makin sulit. Satu panggilan masuk—dari Arga.

"Key, aku mau ke rumah kamu."

"Jangan!"

Napasku tertahan, bahkan rasanya tak bisa untuk dikeluarkan.

"Ada yang mau aku omongin."

"Nggak ada yang perlu kita omongin lagi dan aku juga nggak di rumah."

Aku sangat sangat sangat berharap Arga mendengar ucapanku saat ini. Aku tidak mau dia mengetahui apa yang terjadi pada keluargaku.

"Aku bakal nunggu kamu."

"ARGA!"

Tapi harapanku rasanya harus pupus. Arga pasti akan tahu. Pasti.

"Pak, tolong agak ngebut ya," ucapku sambil menepuk bahu Bapak Ojek berjaket hijau ini.

Si Bapak menolehkan kepalanya padaku dan berkata dengan rasa bersalah," Iya. Sabar, Neng. Macet."

Aku tidak bisa menganggapi sepatah kata lagi selain mengangguk lemah.

Kenapa Arga harus datang lagi ke kehidupanku? Akan lebih baik jika dia menjauh dariku daripada membuat bingung seperti ini.

***

Aku tiba di rumah lebih lama dari yang kubayangkan. Dan pemandangan pertama yang kulihat saat memasuki pelataran rumah ialah: Arga. Laki-laki itu tengah duduk sambil menangkup wajahnya di kedua tangan.

"Arga."

Arga langsung menegakkan kepala dan berdiri. Melalui tatapan matanya yang sendu aku tahu jika dia telah melihat apa yang terjadi pada Kak Anya. Dan sepertinya, kak Anya sudah berhasil ditemukan.

FATAMORGANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang