2. Terikat

1.2K 156 14
                                    


Brian sadar jika seseorang yang duduk di bangku paling depan itu tengah mencuri-curi pandang padanya. Dia akan menoleh ke belakang setiap lima belas menit dengan berbagai taktik; meminjam pensil pada teman yang duduk tepat di belakangnya, lalu diam-diam matanya tertuju pada keberadaan Brian yang berada di bangku pojok paling belakang.

Brian tahu jika dia melakukannya karena kejadian semalam. Dan ia seratus persen mengerti akan lirikan matanya yang seolah-olah sedang berbicara padanya. Lupakan semalam. Semacam pesan seperti itu. Jadi saat bel istirahat berbunyi, Brian segera melesat pergi dari kelas secepat mungkin. Ia sungguh tidak ingin bertemu dengan Key. Bukan bermaksud menghindari pembicaraan atau apa, tapi rasanya akan menjadi pemandangan aneh jika sosok berbakti seperti Key terlibat obrolan dengannya di keramaian.

"Brian."

Namun sayangnya langkah kakinya yang lebar-lebar tak bisa dibandingkan dengan larian Key. Brian menoleh, mendapati Key segera melepaskan senyumannya dengan napas terengah-engah.

"A-aku mau ngomong," Key mengambil napas dalam-dalam. "Soal semalam—"

"It's fine," Brian menyahut, dahi Key berkerut.

"Gue nggak akan bilang siapa pun. Itu kan yang mau lo denger?"

"Ah... ya."

Key menggigit bibir bawahnya. Ia sungguh merasa malu dan tertekan jika harus berhadapan dengan Brian. Ia tahu jika dirinya telah menjadi hal kotor dalam pikiran laki-laki ini. Ia juga ingin menjelaskan bahwa dirinya bukan seperti yang Brian pikirkan tapi ia tidak memiliki kata yang tepat untuk mengawali pembicaraan. Apalagi Brian segera kembali berjalan menjauh selepas mengatakan itu tadi.

Key terlalu fokus pada punggung Brian hingga tak sadar jika sedari tadi, Anggun—sahabatnya, ikut mendengar percakapan mereka karena mengejar Key yang tiba-tiba berlarian ke luar kelas saat ia ingin mengajak Key ke kantin.

***

Brian POV

Ada banyak hal yang mendapat label benci dalam hidupku. Semua itu terasa memuakkan, dan mungkin sebenarnya hanyalah remahan-remahan persoalan kecil bagi sebagian orang, tapi tidak untukku. Seperti yang Key lakukan barusan—aku membencinya.

Aku benci bagaimana caranya dia berlarian ke arahku dan berbicara dengan santainya di koridor. Aku benci harus mengeluarkan suaraku untuk berbicara—terutama pada Key yang selalu menjadi magnet. Orang-orang mengaguminya dan menganggapnya sebagai dewi kebaikan. Jadi saat aku berdekatan dengan Key sama saja aku menarik tatapan-tatapan dari banyak orang.

Aku sudah cukup gelisah saat mendengar dia memanggil namaku, ditambah tatapan penuh rasa ingin tahu dari Anggun yang sudah berdiri tepat di belakang Key. Aku sangat yakin jika dalam pikiran gadis itu telah ada merangkai gambaran yang bukan seperti kenyataannya.

Aku juga tahu jika masih ada hal lain yang ingin Key katakan, tapi aku tidak bisa berlama-lama menjadi pusat perhatian yang seperti penyiksaan.

***

KEY POV

Brian tidak kembali ke kelas semenjak istirahat. Bu Rukma sepanjang pelajaran menjadikan Brian sebagai objek keluhan, hinaan, dan berbagai bentuk lain yang jika didengar telinga terasa menyedihkan dan menyakitkan.

"Kalian lihat sendiri kan tadi wajahnya babak belur kayak preman kampung saja."

Paru-paruku tiba-tiba saja tidak ingin memompa oksigen, membuat napasku tertahan. Bibirku bergetar karena dorongan untuk berbicara dan membela Brian, tapi ah—aku tidak akan bisa. Sama saja aku harus menceritakan kehidupanku. Tidak. Orang lain tidak perlu mengetahuinya, aku sudah hampir gila karena Brian jangan sampai ada lagi yang mengetahuinya.

FATAMORGANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang