5. I Need Somebody

650 118 11
                                    




KEY POV

Brian kembali mengantarku pulang. Sejak dia memelukku, dia tidak mengatakan sepatah kata pun. Brian memang membisu, tapi tangannya selalu bergerak cepat saat ada air mata yang keluar.Saat tangisku reda, kami hanya duduk diam dan menunggu bel pulang sekolah berbunyi. Dia bahkan tidak mengatakannya saat akan mengantarku, dia hanya langsung mengambil tasku dan mengintruksi lewat tatapan mata jika aku harus mengikutinya.

"Makasih."

Sungguh, itu adalah kata pertama yang aku ucapkan pada Brian walau berjam-jam sudah bersamanya. Dan Brian tetap tidak mengatakan apa pun. Dia hanya mengambil helm pemberianku dan melesat pergi. Punggung itu semakin menjauh tapi kenapa rasanya saat ini bisa kurengkuh?

"Keysha."

Aku sontak menoleh saat mendengar suara itu tiba-tiba memanggilku. Suara yang kurindukan sekaligus tak ingin kudengar.

"Papa..."

Terkadang aku heran seberapa banyak volume air mata, karena rasanya aku ingin kembali menangis saat melihat sosok Papa. Aku ingin memeluk papa. Memohon agar papa kembali, namun belum sempat aku bergerak sedikit pun, papa sudah berjalan ke arahku dan melayangkan tangannya.

Plak!

Dia menamparku... Papa?

"Sudah Papa bilang jangan campuri urusan Papa," Papa berkata dengan mata yang memerah, marah. "Kamu ke club buat ketemu sama Tian, kan?!" nada suara Papa meninggi.

Papa masih berdiri dengan berkacak pinggang, ditambah mata tajam yang setia menatapku dengan penuh intimidasi, namun aku tidak bisa menjawabnya. Aku tidak sanggup merespons amarah Papa karena di detik saat Papa menamparku, otakku telah kosong. Mati rasa.

Aku kasihan pada harapan kecilku yang mengemis-ngemis jika Papa akan kembali, nyatanya Papa telah berubah. Dia bukan lagi sosok yang biasa kuagungkan dan menjadi sandaran.

"Kalau sampai Papa tahu kamu ngusik kehidupan Tian lagi, Papa nggak akan segan-segan buat kasih hukuman ke kamu."

Papa berlalu pergi—bersama sisa-sisa kenangan hangat yang kumiliki tentangnya.

Lalu kulihat Mama yang tengah menangis di teras rumah.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Mama sambil mengelus pipiku.

Tentu aku tidak bisa membalas apa pun selain berkata, "Nggak apa-apa, Ma."

"Lebih baik kamu masuk, ganti baju dan istirahat ya."

Mama mengelus pucuk kepalaku, menggiringku memasuki rumah. Di ruang tamu aku melihat Kak Anya tengah menggendong boneka beruang sambil mendumel.

"Hai, Kak. Key pulang," sapaku, tapi kak Anya sama sekali tidak menanggapi dan terus asyik bersama bonekanya.

Mama mengelus punggungku, lalu mendorongya pelan agar aku segera masuk kamar. Mungkin, Mama tengah memberi akses agar aku bisa menangis sepuasnya di kamar saat ini juga. Benar. Memang kamar adalah satu-satunya tempat aku bisa mencurahkan dan mengubur segala luka.

Aku mengunci pintu kamar secepat mungkin setelah memasukinya. Mataku berkeliaran menatap boneka-boneka, foto-foto serta barang lain yang mengingatkanku akan Papa, Arga, dan Anggun. Tanpa mengulur waktu, aku mengambil kotak besar dari dalam lemari. Aku melepas semua fotoku dan Arga yang terpajang rapi membentuk hati, lalu foto-fotoku dengan Anggun yang memenuhi meja; foto saat MOS, ulang tahun, liburan bersama, dan lainnya. Aku segera memasukkan semua foto itu ke dalam kotak, juga boneka-boneka pemberian Arga.

FATAMORGANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang