4. A Person Like Tears

639 127 15
                                    



KEY POV

"Sori."

Itu adalah kata pertama yang Brian ucapkan saat memergokiku tengah menangis dengan hebatnya di belakang sekolah.

"Gara-gara gue pacar lo salah paham."

"Bukan salahmu."

Aku sadar jika Brian tengah menatapku dalam-dalam, namun aku tak sanggup untuk balik memandangnya. Dia kembali melihat kejadian yang seharusnya tak dia ketahui. Dan aku tidak bisa; juga tidak ingin. Kenapa Tuhan harus menempatkan Brian di saat yang tidak tepat? Semua air mata dan masalahku hadir untuk diriku sendiri, bukan untuk dilihat orang lain.

"Aku.. aku kembali ke kelas dulu."

Tanpa menunggu tanggapan Brian aku segera berlari. Jangan bertanya kenapa aku berlari, aku hanya ingin. Aku terlalu takut Brian semakin tertarik dalam kehidupanku. Aku ingin menghindar darinya, aku tidak ingin Brian menangkap segala kesedihan dan deritaku—aku tidak ingin seorang pun tahu.

"Key, ada apa?"

Aku langsung menghetikan lariku saat Anggun tiba-tiba sudah memelukku. Aku memandangnya dengan perasaan yang campur aduk. Dia menoleh ke sekitar, menyadari jika ada beberapa orang yang melihat ke arah kami berdua.

Anggun menarik tanganku untuk memasuki kamar mandi. Di sana dia mengelus kepalaku dan berusaha menghapus air mata yang nyatanya semakin deras saat melihatnya.

"Kam—kamu ngomong apa sama Arga?"

Aku bertanya ragu-ragu. Anggun menghentikan gerakan tangannya. Sikap itu membuatku takut, aku takut akan jawaban yang akan dia keluarkan.

"Aku sayang Arga, Key."

Aku takut akan kenyataan baru yang harus diterima. Aku takut akan kehilangan lain yang menjemputku. Aku merasa persendianku lumpuh, karena rasanya aku ingin terjatuh. Wajah Anggun yang kini juga dipenuhi air mata membuatku getir. Aku ingin memeluknya dan menghentikan tangis itu, tapi tanganku sudah terlalu lemas untuk bergerak. Di lain sisi aku juga ingin mendorong dan mungkin menamparnya seperti yang kulakukan pada Arga tapi tak bisa... tenagaku telah terkuras habis karena menangis.

"Maaf banget buat ngucapin ini, tapi selama ini aku benci sama kamu."

"Apa?"

Dan rasanya bernapas pun sulit untuk dilakukan. Kepalaku seperti ditimpa benda keras yang menyakitkan; itu berbentuk kenanganku bersama Anggun. Tiba-tiba saja memori saat pertama kali aku berkenalan dengannya di masa MOS muncul, ketika kami saling berpelukan, tertawa dan berbagi cerita...

"Aku benci lihat senyum kamu. Kenapa dunia ini baik sama kamu? Temen-temen suka sama kamu, Arga, guru-guru, bahkan aku iri dengan keluarga bahagiamu."

Aku masih ingat rasa sakit saat melihat derita kak Anya yang ditinggal kak Ruben, melepaskan papa, juga Arga. Di detik ini, rasa sakit itu kembali muncul. Bersama-sama menususk-nusuk hatiku.

Sakit...

Kenapa sakit sekali?

"Aku selama ini tersiksa di dekat kamu. Kamu sadar, nggak?" tanya Anggun, dengan satu air mata yang menjuntai di pipi.

Aku ingin bertanya padanya, "Kenapa kamu yang menangis?"

Apa dia merasa terluka karena menyimpan cintanya pada Arga, atau itu air mata penyesalan bahwa dia telah membuang waktu percuma denganku.

Mata Anggun yang menatapku membuat tubuhku semakin bergetar. Mulai detik ini, aku tidak akan sanggup menatap matanya. Aku tidak ingin mengingat luka ini saat memandangnya.

"Kalau gitu..." bibirku bergetar, tidak sanggup untuk berbicara. Tapi aku harus. Aku ingin agar semuanya berakhir. "Aku minta maaf karena selama ini bikin kamu nggak nyaman."

Aku keluar dari kamar mandi dengan berusaha menutup wajaku dengan kedua telapak tangan. Satu-satunya tempat teraman untuk menangis adalah belakang sekolah. Aku tidak mungkin kembali ke kelas dengan wajah yang penuh air mata, dan aku juga tidak sanggup jika harus bertemu lagi dengan Anggun.

Sesampainya di belakang sekolah, aku melepas semua tangisku. Saat ada langkah kaki yang menghampiri, tangisku semakin menjadi. Aku tahu siapa yang kini kembali berdiri di hadapanku. Aku sudah tidak bisa lagi menutupinya, jadi tidak masalah jika dia melihatku menangis seperti orang gila, karena aku tidak bisa lari.

Brian yang awalnya hanya berdiri diam di depanku, menarik tubuhku dalam dekapannya. Suara tangisku meredam di dadanya. Tanganku mencengkram punggung Brian. Brian tetap tidak mengatakan apa pun, dia hanya terus memelukku. Membiarkan tubuhnya menjadi tempatku bertahan.

***

BRIAN POV

Terakhir kali aku melihat seorang perempuan menangis ialah delapan tahun yang lalu. Ketika tangan ayah dengan ringan memukul bunda. Aku sendiri hanya duduk diam di balik pintu kamar. Saat itu usiaku sembilan tahun, dan melihat pertengkaran terhebat orang tua adalah hal yang sulit untuk dilupakan—membentuk luka, trauma, dan ketidakpercayaan.

Saat itu Bunda tengah mengandung Mika, tapi Ayah murka. Dia bilang jika janin itu bukan miliknya. Awalnya aku tak percaya, tapi saat tak sengaja terbangun tengah malam dan melihat Bunda pulang bersama laki-laki lain membuat angan-anganku tentang Bunda hancur. Itu adalah pertengkaran terhebat dan terakhir, karena Ayah memilih meninggalkan kami, pergi entah kemana.

Kemarin, saat melihat mama Key menangis di jalanan—aku seperti melihat jiwa Bunda yang kurindukan bertahun-tahun yang lalu. Aku ingin membuatnya tenang, mungkin saja itu perasaanku pada bunda delapan tahun yang lalu—saat aku tidak bisa melakukan apa pun untuk bunda sehingga aku ingin menghilangkan sendu di mata senja mama Key.

Lalu bagaimana dengan Key yang kini juga menangis dalam dekapanku?

Aku tidak tahu.

Aku tidak tahu kenapa harus mengerti deritanya, aku tidak tahu kenapa harus memeluknya, aku tidak tahu kenapa ingin menenangkannya.

Yang aku tahu, senyum Key di hari-hari biasa lebih cantik daripada air matanya.

***

Curhat ya, apa yang dikatain Anggun itu asli yang dikatain sahabat aku pas SMA. 4 taun lalu di saat aku lagi butuh banget bahu buat bersandar karena permasalahan di rumah; kakak depresi dan orang tua sepenuhnya jagain kakak. Di saat tiap malem aku liat bapak diem-diem nangis pas meluk kakak. 

Sosok yang biasanya keliatan tegas  itu selalu nangis  karena masalah ini. 


Buat kalian semua tetap semangat ya dan sekali lagi makasih!

FATAMORGANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang