18. Ketika Rasa Berbicara

459 85 68
                                    

Satu... dua... tiga...

Juli terus menghitung tetes demi tetes cairan infus yang mengalir ke tubuh Key. Sudah dua jam, tapi Key tak kunjung sadarkan diri. Ia masih ingat betul betapa terkejutnya ia saat menemukan tubuh Key yang dikerumuni banyak orang. Seorang ibu berjilbab biru yang memeluk tubuh Key bilang, jika Key mencoba untuk menyebrang tanpa melihat kanan-kiri. Jadilah beliau menarik Key untuk terhindar dari mobil yang berlalu lalang di jalan, tapi tiba-tiba saja Key sudah tak sadarkan diri.

Beruntung dia sedang bersama Dino yang selalu penasaran akan sesuatu. Tadinya, mereka berdua tengah menuju perjalanan ke klinik, tapi saat ada orang-orang bergerumul, Dino yang mengendarai sepeda langsung menepi demi melihat apa yang terjadi. Dan ternyata Key yang menjadi pusat perhatian itu.

Mata Juli yang tadinya fokus pada selang infus, beralih ke arah tangan Key. Ia ingat rasa tertohok yang muncul di hatinya saat melihat luka sayatan di kedua lengan Key ketika seorang perawat membuka cardigan Key.

Ternyata gara-gara ini, Juli membatin.

Juli sadar jika Key mencoba untuk menghindari kontak mata dengannya saat ia berkunjung ke rumah tempo hari. Key rupanya takut ketahuan jika dia juga tengah kesakitan. Hanya saja dia berusaha mempertahankan sakitnya dan menimbunnya sendiri. Juli merasa jika Key bukannya menyebrang dengan sembrono, melainkan sengaja untuk mengakhiri hidupnya hari ini juga.

Di tengah kecamuk pikiran itu, kelopak mata Key bergerak. Juli yang memperhatikannya langsung duduk tegap menahan napas. Saat mata Key sepenuhnya terbuka, ada rasa lega yang menyeruak di dadanya.

"Kak Juli?"

Key melebarkan matanya begitu menyadari seseorang yang duduk di samping brankarnya.

"Hei."

Juli tersenyum. Ulasan senyum yang selalu berhasil mengundang orang lain untuk ikut tersenyum, namun tidak mempan untuk Key. Seperti sekarang contohnya. Key langsung memasang wajah terkejut, bingung, juga kesal.

"Kok—kenapa—aku..."

Key tidak tahu harus mengatakan apa. Rasanya terlalu banyak kejadian yang ia lewatkan saat dirinya tak sadarkan diri. Beberapa waktu lalu ia berharap ingin mati, tapi kenapa malah di sini? Apalagi di samping Juli.

"Minum dulu." Juli menyodorkan segelas air putih. Mau tak mau Key menerima dan meneguknya. "Ayo ngomong pelan-pelan," lanjut Juli.

Key diam sejenak, menarik napas dalam-dalam sambil menatap Juli.

"Ngapain kak Juli di sini? Terus kenapa juga aku di sini, lalu ini—" ucapan Key terpotong saat melihat infus di tangannya dan menyadari jika cardigan yang biasa ia pakai telah lepas dan menunjukkan luka sayatan di sekujur lengannya.

"Nggak apa-apa, Key."

Juli mencoba menggenggam tangan Key dan menaruh kembali tangan Key ke samping tubuhnya. Key memalingkan muka, merasa malu dan marah karena ada orang lain yang mengetahui rahasianya.

"Tadi kamu lagi ngelamun ya? Sampai mau ketabrak gitu?" Juli bertanya, tapi Key sama sekali tak bergeming. "Tadi ada ibu-ibu yang bantuin kamu, narik kamu dari tengah jalan terusan kamu pingsan."

Key akhirnya menolehkan wajah pada Juli. Ada yang ingin dia ucapkan, tapi rasanya seluruh kata itu menghilang di tenggorokan.

"Saya nggak akan bilang ke siapa-siapa," ucap Juli, berusaha meyakinkan. Tapi ucapan itu justru mengundang air mata Key.

"Ha-harusnya aku udah nggak di sini."

Key meringkuk dan meredam tangisannya di kedua lututnya. Juli berdiri, mengambil duduk di sisi brankar Key sambil mengelus punggung Key yang bergetar hebat.

FATAMORGANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang