16. Because You're Only Human

559 85 54
                                    

Key POV

Mungkin sudah lima belas menit lamanya aku berhadapan dengan kak Juli dan senyum di bibirnya itu sama sekali tidak luntur—sedikit pun! Untuk pertama kali aku bertemu dengan seseorang yang memiliki senyum semenyenangkan ini.

"Jadi kak Anya sudah lebih tenang, Bu?"

Aku menahan diri untuk tidak terlihat tekejut saat dia memanggil kak Anya juga dengan sebutan 'kak'. Mama yang ditanyai seperti itu hanya tersenyum, seolah itu memang sudah panggilan biasa.

"Beberapa hari terakhir Anya nggak sering teriak-teriak atau berani kabur dari rumah, kalau lagi takut atau apa dia bakal meluk saya."

Kak Juli mengangguk-anggukkan kepala. Setelah menulis sesuatu di buku catatannya dia mengangkat wajah, menatapku. Yang entah mengapa aku tak nyaman dengan mata itu.

"Kalau sama Dek Key gimana? Kak Anya sering teriak-teriak?"

Meskipun aku kembali dibuat terkejut dengan sebutan 'dek' itu, aku masih bisa menanggapi pertanyaan Kak Juli dengan sebaik mungkin.

"Sudah enggak, Kak. Aku sering peluk Kak Anya tapi nggak didorong. Mungkin tadi pagi aja gara-gara aku coba ambil boneka kak Anya pas mau mandiin...," suaraku mengecil saat aku sadar atas apa yang baru saja aku ucapkan. Bukannya kata 'mandi' sedikit aneh jika diceritakan ke orang lain?

Tapi aku lega saat Kak Juli masih mempertahankan senyumanya dan menatapku seakan-akan hal itu bukan sesuatu yang perlu dirasa malu.

"Jadi kak Anya yang masih susah kalau diajak bicara ya?" Kak Juli mengganti pertanyaan. Mama dan aku sontak mengangguk.

Kak Juli kembali mencatat informasi itu, kali ini lebih lama. Setelah bulpoin hitamnya menjauh dari kertas, kak Juli masih membalikkan beberapa lembar kertas di tangannya untuk mengecek kembali tulisan-tulisan di sana.

"Saya rasa kali ini sudah cukup, akan saya sampaikan pada Prof. Wildan tentang kondisi Kak Anya," ucap Kak Juli sambil menutup bukunya. "Ibu dan Dek Keysha bisa terus ajak Kak Anya ngobrol, apalagi tentang hal-hal yang kak Anya suka."

Kak Juli beranjak dari duduknya, di saat itu mama memeluk kak Juli dengan erat. Dan lagi-lagi hal itu membuatku terkejut. Sepertinya kak Juli sudah memiliki hubungan yang dekat sekali dengan mama dan kak Anya.

"Makasih ya, Nak Juli. Sudah repot-repot sampai dateng ke rumah," ucap mama setelah melepaskan pelukannya.

Kak Juli dengan terus tersenyum menjawab, "Wah, saya yang rasanya seneng bu bisa dikasih kehormatan buat nemuin langsung ke rumah."

Mama tetawa kecil. Wah, kak Juli memang hebat sekali dalam mengambil hati seseorang.

"Kamu nih bisa aja. Salam buat Prof. Wilda semoga acaranya lancar."

"Iya, Bu."

Aku dan mama mengantar kak Juli keluar rumah, namun mama cepat-cepat masuk ke dalam rumah untuk melihat kak Anya yang tengah tertidur dan meninggalkanku yang berdiri kaku di depan kak Juli.

"Berat ya, Dek?"

"Eh?"

Mataku melebar. Sejujurnya aku masih aneh saat kak Juli memanggilku dengan sebutan 'dek' tapi rupanya dia memang orang yang gampang akrab dengan semua orang.

"Hm... sedikit, Kak."

Sebaik mungkin aku berusaha mengindari kontak mata dengan kak Juli. Bukannya kenapa-napa, hanya saja aku selalu tidak nyaman jika bertatap muka dengan seorang yang terjun di bidang psikolog. Aku hanya takut ketahuan.

"Kalau ada apa-apa kamu bisa cerita ke saya," Kak Juli kembali mengatakan hal yang tidak kuduga, membuatku semakin bingung menjawabnya.

Mungkin karena melihatku yang hanya terdiam linglung, kak Juli tertawa ringan dan berjalan menjauh.

FATAMORGANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang