31. Teroris Pengecut

409 72 3
                                    

Serial BEST FRIENDS – 31. Teroris Pengecut

Penulis : Uniessy

Dipublikasikan : 2019, 18 Maret

-::-

"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaKu, masuklah ke dalam SurgaKu."

[ QS. Al Fajr (89) : 27-30 ]

-::-

Pintu kamar Nora terbuka hanya dengan seruan salam. Ada Nora di baliknya, dan matanya merah. Wajahnya sembab, terlihat seperti habis menangis.

Well, aku tahu kenapa dia menangis.

Kemarin, tepatnya hari Jumat, ada kejadian keji yang berlangsung di negara yang kukenal dengan negara damai. Kalau menyebut nama negaranya, aku hanya akan teringatkan akan padang rumput yang luas dengan sapi bertebaran di atasnya, memakan rumput dengan gembira. Susu, cokelat, daging sapi segar, apalagi tuh... Sebut saja. Yang enak-enak, ada di sana.

Tapi Jumat lalu terjadi penembakan brutal di dua masjid yang ada di sana. Pelakunya adalah orang yang membawa senjata api dan menembaki orang-orang yang ada di dalam masjid yang lumayan ramai karena sedang melaksanakan shalat Jumat.

"How are you, dear Nora?" tanyaku begitu duduk bersila di atas karpet dekat tempat tidurnya. Dia menyeka matanya dan kemudian tersenyum.

"Fine as well, yaa Ukhtayya," balasnya.

"You look bad," kataku lagi. "I mean, kau sedih semalaman..."

Nora terkekeh pelan. "It's okay. I'm fine..." katanya. "Sebentar ya, aku ambilkan minum."

Aku mengangguk, menerima laptop yang disurungkan Nora kepadaku, lantas menyalakannya. Kemudian tertegun melihat sajadah yang terhampar di dekat lemari pakaiannya. Kira-kira, dia menangis seberapa lama ya?

kemarin, Nora tidak memberi tanggapan apa-apa, selain pernyataan bahwa kematian para korban itu sungguh menakjubkan. Sedang berada di rumah Allah, dalam keadaan suci berwudhu, dengan hati menghadap Allah, lalu mati dengan cepat. Tanpa rasa sakit yang berarti. Nora sempat menyebutkan ayat dalam surat Al Fajr yang menyatakan bahwa orang-orang kembali kepada Allah dengan hati yang puas dan diridhai.

Tentu saja mereka puas. Mereka kembali kepada Allah dalam keadaan bersuci...

Ah, kalau dipikir-pikir, aku iri sekali!

Tapi keluarga korban tentu bersedih. Jangankan mereka, aku saja sedih mendengar beritanya! Videonya sungguh keterlaluan. Kenapa ada manusia yang begitu tega menjadikan pencabutan nyawa banyak orang sebagai sesuatu yang dikonsumsi dalam bentuk tontonan? Sungguh tidak punya kemanusiaan!

"Kau sudah tahu, bahwa pelaku penembakan keji itu sudah tertangkap?" tanyaku pada Nora yang muncul dengan dua gelas teh hangat. Kebetulan di luar cuaca memang sedang turun hujan.

"Teroris pengecut itu?" kata Nora dengan nada penuh penghinaan. "Semoga dia dihukum sesuai dengan apa yang dia perbuat."

"Kau lihat tidak, simbol jari yang dibentuk oleh jemarinya? Aku baca-baca di artikel, itu tandanya: Misi Selesai. Semacam itu." Aku mengambil teh hangat dan menyeruputnya. "Orang-orang bilang itu simbol zionis."

Cengiran Nora terlihat. "Semua orang berbangga dengan identitasnya," ucapnya. "Kau lihat korban penembakan yang mengacungkan satu jarinya? Menandakan bahwa beliau menyebarkan kekuatan Tauhid. Ada Allah di atas segalanya," tambahnya. "Demikian juga dengan teroris pengecut itu. Berusaha menyebarkan isu-isu yang kemungkinan akan menakut-nakuti orang yang tidak begitu paham, atau bisa juga menyampaikan pada bos besar bahwa pekerjaannya sudah tuntas. Whatever it is, aku tidak peduli. Simbol-simbol itu tidak membuatku takut. Bagiku, dia hanya sebatas teroris pengecut yang menyerang orang-orang yang tidak bisa melakukan perlawanan."

Aku mengangguk-angguk mengerti.

Benar juga. Si pelaku menyerang orang yang tidak bisa melakukan perlawanan. Pengecut.

Teroris Pengecut!

"Sama seperti yang dilakukan oleh Abu Lu'luah pada Sayyidina Umar," ucap Nora.

Aku menoleh, mengernyitkan kening. "Siapa itu Abu Lu'luah?"

"Abu Lu'luah Al Majusi, budak yang menikam Sayyidina Umar ketika beliau sedang mengimami shalat Subuh. Abu Lu'luah bersembunyi di kegelapan Subuh di dekat masjid, kemudian saat Sayyidina Umar shalat, teroris pengecut itu menikam Sayyidan Umar dengan tiga tusukan. Di dada, di perut, dan di bagian bawah pusar."

Nora terdiam sejenak, dan aku menghela napas. Sepengetahuanku, Sayyidina Umar adalah orang yang gagah, yang menakutkan bahkan setan saja takut kepadanya. Lantas, ditikam saat shalat Subuh? Pelakunya benar-benar pengecut!

"Abu Lu'luah akhirnya menghunuskan pisau tadi ke tubuhnya hingga ia mati," sambung Nora. "See? Mereka tidak berani menghadapi kaum muslim kecuali ketika kaum muslim tidak siap untuk diserang. Dan kita mendapati bahwa kita hanya tidak siap diserang, tapi kita harus bersiap untuk menemui kematian."

Aku menelan ludah. Bicara kematian, tidak pernah gagal untuk membuatku ketakutan. Huhu, kalau dijamin masuk Surga ketika kematian datang, mungkin aku tidak takut...

Ah, kesal!

"Dan kita lihat efek yang dihasilkan oleh si pelaku teror di masjid kemarin? Dia salah sangka jika dengan apa yang dia lakukan lantas membuat orang-orang takut ke masjid..." kata Nora lagi. "Orang-orang justru rajin ke masjid setelah kejadian itu. Aku berulang kali memuji Allah setiap aku mendapatkan berita bahwa masjid-masjid penuh saat Subuh tadi," tambahnya, nyaris menangis.

Aku mengusap lengannya perlahan, hanya berusaha menenangkannya semampuku.

"Teroris pengecut itu menyerang satu masjid bernama Al Noor. The Light. Cahaya. Dia pikir dia hendak memadamkan cahaya Allah, malah justru sebaliknya. Kejadian ini mengguncang dunia dan harusnya membangunkan kaum muslim yang selama ini tertidur. Harusnya menyentak kaum muslim yang selama ini terlena oleh Dunia..."

Mataku mengerjap. Teringat tadi aku membaca postingan di instagram tentang masjid-masjid Eropa yang lebih ramai dari biasanya. Tapi masjid di sini? Kenapa biasa saja? Kenapa tidak terlalu ada efeknya? Hanya pertahanan yang dimiliki oleh orang-orang yang biasa ke masjid untuk tidak merasa takut ke masjid. Itu saja.

"Dan semua pasti ada hikmahnya," kata Nora dengan embusan napas pendeknya. "Semua yang sudah terjadi, atas izin Allah, right?"

Aku lekas mengangguk. "Of course."

Kulihat Nora tertawa kecil, mengambil teh dan meminumnya sedikit.

"Kejadian ini sungguh membingungkan ya, Queen. Di satu sisi kita mengecam apa yang teroris pengecut itu lakukan, tapi di sisi lain kita tetap bersyukur kepada Rabbul'alamin. Dia yang punya rahasia atas apa yang terjadi di Dunia. Dan segalanya semoga ada kebaikan. Semoga para korban terhitung sebagai Syuhada, seperti yang dijelaskan dalam surat Al Fajr. Begitu menyenangkan, menghadap Ilahi Rabbi ketika hati ini tengah menghadapNya..."

Dan kali ini aku tergugu, memandangi wajah Nora yang mengatakan kalimat terakhir dengan ekspresi seolah dia juga begitu ingin merasakan hal yang sama. Dan ingatanku tersentak lagi kepada bayangan yang aku dapatkan saat berita tentang nama-nama korban dirilis.

Bagaimana jika aku dan Nora sedang berada di masjid yang sama? Apakah aku akan melakukan tindakan seperti yang Ibu Housna Ara Parvin lakukan terhadap suaminya? Yakni melindungi suaminya dari rentetan peluru sampai kemudian beliau meninggal? Aku membaca artikel itu dengan berlinang air mata. Sungguh menakjubkan yang namanya cinta...

Pelan, aku meraih tangan Nora. Menggenggamnya erat-erat.

"Just don't stop being good people, dear Habibti."

Kulihat dia melepas senyum dan mengangguk dengan kepala tertunduk. Genggamanku dibalas olehnya dengan erat juga.

"Syukran, yaa Ukhtayya. Uhibbuki fillaah..."

[]


[✓] Best FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang