❄️4: Yurika Anatasya❄️

478 79 64
                                    

❄️❄️❄️

Lingkungan komplek yang bersih dan rapi, cahaya matahari mulai menampakkan sinarnya, dan udara pagi yang sejuk menemani seorang gadis beriris mata coklat, rambut lurus sepinggang yang sibuk bersenandung ria.

Nara berjalan santai melewati setiap rumah-rumah yang berjejer rapi di kiri dan kanan jalan. Hari ini ia berangkat sekolah dengan jalan kaki karena jarak rumahnya ke sekolah tak begitu jauh, juga hitung-hitung olahraga, alasan lainnya karena kakak tirinya. Ya ... walaupun di rumah kakak tirinya mengiyakan permintaan mama untuk mengantarnya sekolah tetap saja di tengah jalan dia pasti menurunkannya. Nara tahulah kakaknya tak suka dengannya entah karena apa, yang terpenting ia tak menanggapi sikap menyebalkan kakaknya.

Senyum Nara terus mengembang sampai ia di sekolah. Ia menyapa beberapa orang yang di kenalnya dengan senyuman manisnya.
Dari arah yang berlawanan Vano berjalan santai dengan earphone yang melekat di telinganya. Sikapnya yang cuek terbukti saat ada perempuan yang menyapanya tapi dia pasang wajah datar alias cuek.

Nara dan Vano berpapasan, walaupun begitu keduanya saling acuh seolah tak saling mengenal, Nara sengaja bersikap seperti itu karena ia tahu es batu itu pasti cuek aja dan satu lagi alasannya yaitu ia masih tak suka dengan sikap Vano yang seolah mengabaikan gosip itu. Dan baru saja melangkahkan kaki masuk kelas, ia menangkap gosip tentangnya lagi. Seketika telinganya panas mendengar itu, Nara memutuskan keluar kelas untuk meredam emosinya.

***

Hari ini hari yang sungguh menegangkan bagi kelas XI IPA 3. Yap, hari ini ulangan kimia. Ini kali pertama Nara merasa tegang menghadapi ulangan, mungkin karena ia ingin tahu apakah usahanya dalam belajar itu sia-sia atau tidak.

Nara menatap lembaran soal yang baru saja dibagikan Pak Burhan. Ia mengamati soalnya sejenak. Ada 5 esay, tapi semuanya beranak. Nara mengetuk-ngetuk jarinya di meja, ia sedang berpikir dan mengingat beberapa rumus yang kemarin dipelajarinya. Sialnya ia malah lupa, tapi ada beberapa yang ia ingat, kemudian ia segera mengisinya.

"Waktu habis, kumpulkan!" tegas Pak Burhan tiba-tiba.

Nara menghela napas lega karena ia berhasil mengisi semua soalnya, walaupun ada beberapa yang dijawab asal-asalan. Ia beranjak dari tempat duduk dan menaruh kertas jawabannya di meja depan.

"Minggu depan bapak bagikan hasil ulangan kalian." Setelah mengatakan itu pak Burhan meninggalkan kelas.

"Kin, gimana ulangannya?"tanya Andini teman sebangku Nara. Ia memang pintar dalam pelajaran hitung-hitungan seperti matematika, fisika dan kimia.

Nara tersenyum. "Lumayan."

"Oke, semoga nilainya memuaskan," ucap Andini dengan semangat.

Nara tersenyum.

***

Nara dan Andini, mereka berdua sudah berada di kantin lebih awal, tahu sendirilah tempat ini pasti selalu ramai. Bahkan terkadang semua meja penuh padahal kantin di sekolah ini cukup luas.

Nara dan Andini sudah memesan makanan dan minumannya. Keduanya hanya tinggal melahap bakso tersebut. Tapi, tiba-tiba ada seorang perempuan yang duduk di samping Nara. Ia menoleh ke arah perempuan itu.

"Hai," sapa perempuan itu dengan senyuman.

"Hai juga." Nara balas tersenyum.

"Boleh bicara sebentar gak?" tanyanya.

Nara mengangguk, karena ia sedang mengunyah bakso. Ia heran kenapa tiba-tiba Yuri menghampirinya? Apa ada sesuatu yang penting?entahlah.

"Soal gosip tentang lo sama Vano," ucap Yuri menatap Nara sekilas.

Nara yang sedang mengunyah bakso tiba-tiba tersedak karena kaget. Andini yang melihat itu menyodorkan minuman.

Nara berhenti makan, padahal belum habis. Mau bagaimana lagi? Ia jadi tak nafsu makan karena Yuri membahas es batu itu.

"Gini Nar, kemarin Vano bicara sama gue masalah gosip ini. Awalnya gue kasih solusi gimana kalau diem aja nanti juga lama kelamaan hilang. Tapi, Vano bilang ada yang terlibat lagi selain gue. Ya ... itu lo Nar," jelas Yuri.

Jujur Nara tak percaya dengan ucapan Yuri barusan, artinya kemarin Vano mendengarkan keluh kesahnya dan soal Vano pergi meninggalkan Nara ternyata untuk menemui Yuri untuk mencari solusi. Ahh ... Ia merasa sangat bersalah karena telah menuduh Vano yang tidak-tidak.

"Terus solusinya gimana?" tanya Nara.

"Gue rasa kembali ke solusi yang pertama."

"Oke."

"Gak keberatan 'kan?" tanya Yuri.

Nara menggeleng.

"Duluan." Yuri beranjak dari kursi lalu pergi keluar dari kantin.

Sejujurnya Nara tak setuju dengan solusi itu, tapi gak mungkin juga ia mengutarakannya yang ada Yuri pasti merasa terbebani. Dan Nara tak mau begitu.

"Din lo-" ucapan Nara terhenti karena Andini tak ada di tempatnya. Kemana dia? Sial ia di tinggalkan.

***

Yuri mengamati setiap lalu lalang siswa, ia sedang berada di rooftop sekolah. Tanpa sadar air matanya lolos begitu saja. Ia tak tahu sebabnya karena setiap berada di sini ia selalu mengingat tentang kesedihan itu.

"Jangan nangis." Suara dingin itu. Yuri tahu siapa dia. Ia segera menghapus air matanya.

"Gue gak nangis, cuma kelilipan," sahut Yuri bohong, ia masih menatap lalu lalang siswa dan siswi yang mulai sedikit.

Vano berjalan menghampiri Yuri yang masih membelakanginya.

"Dusta!" ucap Vano sedikit menggertak.

"Bodo! Lagian ngapain lo ke sini?" tanya Yuri sedikit ketus.

"Biasa."

Yuri mendengus, ia tak suka setiap ia menangis selalu saja ada orang yang melihatnya, ia benci dikasihani. Apalagi sudah beberapa kali ia ketahuan menangis oleh Vano. Dan hasilnya ia terpaksa menceritakan kesedihan itu.

"Oh ya, tadi gue udah bilang sama Nara." Yuri menatap Vano sekilas.

"Oke."

Yuri memutuskan pergi, tapi baru beberapa langkah suara Vano mengintrupsinya.

"Jangan sok kuat kalau nyatanya enggak!"

Yuri masih terdiam, lalu melanjutkan langkahnya. Ia tak suka orang lain ikut campur urusannya. Terlebih lagi orang seperti Vano. Es batu itu memang peduli padanya hanya saja caranya kurang mengenakkan. Ahh ... ia tak peduli.

❄️❄️❄️

Terimakasih untuk para pembaca

Semoga suka❤️

See you next part ❤️

SULIT [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang