❄️13: Khawatir❄️

296 54 13
                                    

❄️❄️❄️

Hari demi hari berlalu begitu cepat. Begitu pun misi Nara dan Vano terus berlanjut. Tapi, sampai sekarang keduanya seolah kehilangan jejak. Beberapa waktu lalu keduanya hampir saja tertangkap. Dan sekarang keduanya masih mencari tahu keberadaan laki-laki misterius itu.

Tanpa disadari kondisi fisik Nara mulai menurun. Setiap belajar bersama Vano pun pengerjaannya semakin menurun, tak beraturan, dan banyak kesalahan yang diperbuat Nara. Tapi, Vano tidak peka terhadap perubahan tersebut. Justru Vano selalu menyalahkan Nara, bahkan Nara selalu dikira tak pernah sungguh-sungguh dalam belajar.

Jemari Vano menelusuri setiap kalimat demi kalimat pada buku Biologi di pangkuan tangannya. Kebetulan setelah istirahat ada ulangan Biologi. Dengan begitu Vano bisa memanfaatkan waktu belajarnya dengan Nara. Gadis itu kan selalu terlambat.

Vano melirik jam tangan hitam yang melingkar di tangannya. Sudah kurang lebih dua belas menit Vano menunggu. Tapi, gadis bersurai hitam lurus sepinggang itu belum menampakkan batang hidungnya. Bahkan Vano sudah hampir selesai membaca materi Biologinya.

Sekali lagi Vano melirik jam tangan hitamnya. Dan kali ini Vano beranjak dari tempat duduknya. Lalu, melangkah keluar perpustakaan. Sampai waktu istirahat habis pun Nara tak kunjung datang.

***

Tring!

Sebuah notif pesan muncul saat Vano baru saja akan membuka kunci layar. Vano membuka motif pesan itu.

Nara
Sorry Van. Gue hari ini gak masuk sekolah. Maaf banget nih ya baru ngasih tahu sekarang

Vano menghentikan langkahnya di dekat motornya. Vano hanya menghela nafas panjang setelah membaca isi pesan tersebut. Ponselnya ia masukan ke dalam saku celana. Tak ada niat sedikit pun untuk membalas pesan itu. Baginya, tidak terlalu penting juga.

Vano menaiki motornya. Dan melesat pergi dengan kecepatan tinggi. Selama perjalanan pulang, entah kenapa hati dan pikirannya selalu tertuju pada gadis bersurai hitam lurus itu. Banyak pertanyaan yang terus berputar-putar di kepalanya. Kenapa dia gak sekolah? Apa sakit? Atau malas? Atau ada hal lain?

Laju motor ninja hitam milik Vano perlahan memelan, dan berhenti di tepi jalan. Mendadak pikirannya kacau hanya karena satu nama. Nara. Kenapa gadis itu mengacaukan pikirannya. Padahal beberapa Minggu lalu Vano tak begitu peduli dengan Nara. Tapi, kenapa sekarang seolah berbanding terbalik atau bahkan bertolak belakang dengan sifat aslinya.

Vano menepis semua pemikiran itu. Ia kembali melajukan motornya. Tapi, sia-sia saja yang Vano lakukan. Bayangan Nara kembali mengacaukan pikirannya. Dan meskipun raganya menolak untuk bertemu. Tapi, hatinya mengiyakan kekhawatirannya.

Vano menatap rumah bergaya sederhana dengan beberapa bunga di kanan dan kiri yang menghiasi rumah tersebut. Vano masih berada di depan pagar putih yang tingginya hanya sebatas dada. Sampai seorang wanita paruh baya menghampiri Vano.

"Ada apa ya?" tanya wanita paruh baya itu menatap heran seorang pemuda berseragam SMA.

"Saya teman Nara, Bu."

"Ouh iya, Vano ya. Ibu sampai lupa. Mau jenguk Nara?" ucap Melani, lalu membukakan pagar itu.

"Iya, Bu."

***

"Masuk saja ke kamarnya," ucap Melani, kemudian berlalu pergi setelah mengantarkan Vano ke depan pintu kamar Nara.

Vano hanya mengangguk. Kemudian memegang kenop pintu. Lalu, membukanya. Pemandangan yang pertama kali Vano lihat adalah Nara yang terbaring di kasurnya dengan handuk kecil putih yang ada di dahinya sebagai kompresan.

Vano menutup pintu pelan. Melangkah dengan hati-hati supaya tak menimbulkan suara. Menatap Nara dalam diam. Vano mensejajarkan tubuhnya dengan kasur. Tangannya bergerak merapikan beberapa helai rambut Nara yang berantakan.

Gerakan tangannya terhenti mendengar lenguhan dari bibir Nara. Sekejap kemudian Nara membuka matanya. Pandangannya beralih pada seorang laki-laki di samping kasurnya. Nara yang terkejut segera mendudukkan dirinya, hingga kepalanya terbentur kepala ranjang.

Nara mengusap bagian belakang kepalanya. Lalu, menatap Vano. "Lo ngapain ke sini?"

"Kebetulan lewat." Vano tetap menyembunyikan rasa khawatirnya.

"Masa sih." Nara merasa aneh dengan Vano. Setahunya jalan menuju rumahnya dan Vano berbeda arah. Bagaimana mungkin kebetulan lewat. Atau dari rumah temannya.

Vano tak menanggapi ekspresi heran Nara. Ia berdiri. "Gue pulang," ucap Vano datar setelah itu melangkah pergi.

Langkah Vano terhenti saat di depan pintu kamar Nara. Seakan-akan hatinya menyuruhnya untuk mengatakan sesuatu pada Nara. Walau enggan. Tapi, pada akhirnya Vano membalikan badan. Menatap Nara yang juga sedang menatapnya. "Cepet sembuh."

Dan kali ini Vano benar-benar keluar kamar. Ia memegang dadanya yang terasa seperti berdebar tak karuan. Dan pikirannya yang tak hentinya selalu mengkhawatirkan kondisi Nara. Sungguh Vano merasa dirinya sendiri sedang sakit, karena bertindak tak wajar.

❄️❄️❄️

Terimakasih kepada para pembaca

Semoga suka ❤️

See you next part ❤️

SULIT [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang