❄️10: Kerjasama❄️

299 55 0
                                    

❄️❄️❄️

Gadis berambut lurus sepinggang itu diam-diam mengintip dari celah pintu kamar Riki yang sedikit terbuka. Tak ada pergerakan apapun yang mencurigakan. Nara melangkahkan kakinya sedikit terburu-buru begitu melihat Riki yang berjalan ke arah pintu.

"Duh, sial!" Nara meringis pelan memegangi kakinya yang terkilir, terlambat sudah Nara melarikan diri. Riki sudah membuka pintu kamarnya, dan menatap Nara yang terduduk di lantai.

"Kenapa?" tanya Riki melihat Nara terduduk di lantai sambil memegangi kakinya.

"Eh, terkilir, Kak." Nara terkejut dengan pertanyaan yang diajukan Riki. Hatinya sudah dag dig dug gak karuan. Ia pikir Riki akan menuduhnya mengintip kamarnya. Meskipun kenyataannya memang benar begitu.

Walaupun Riki dingin dan sedikit keras, ia begitu tak tega dengan perempuan. Hal itu selalu mengingatkannya pada mendiang ibunya.

"Mau dibantu?" tawar Riki, ia hendak mengulurkan tangannya.

"Eh, gak, Kak. Aku bisa sendiri, kok." Mendadak Nara jadi gugup.

Nara susah payah berdiri walau kakinya sakit. Tapi kenapa Riki terus memperhatikannya hingga Nara masuk ke dalam kamarnya.

Nara melangkah pelan ke kasur. Ia duduk di tepi kasur memijat sedikit kakinya yang terkilir.

"Duh, sial banget, sih!" gerutu Nara.

"APA MAKSUD LO!" Suara bariton yang begitu keras membuat Nara menghentikan aktivitasnya. Suara itu berasal dari kamar sebelah, lebih tepatnya kamar Riki.

Nara melangkahkan kakinya ke dekat tembok yang terhubung dengan kamar Riki. Ia ingin tahu Riki sedang bicara dengan siapa.

"DUG!" Pukulan yang begitu keras membuat Nara mengusap telinganya yang kebetulan menempel di tembok. Telinganya berdengung.

"Kenapa sih, kok gue sial mulu." Lagi Nara menggerutu kesal.

Merasa tak ada suara lagi, Nara kembali melangkahkan kakinya ke kasur. Tidur adalah pilihan yang pas untuk meredam kekesalan yang menggelayuti hatinya.

***

Nara melirik arloji yang melingkar di tangannya gelisah. Gimana gak gelisah, sudah 10 menit bel istirahat berbunyi. Tapi makhluk dingin itu tak kunjung menampakan batang hidungnya.

"Si Vano kemana sih! Mana 5 menit lagi bel masuk." Nara terus memperhatikan arlojinya.

Suara deritan kursi membuat Nara mengalihkan pandangannya.

"Habis dari mana lo?! Di tungguin juga!" cecar Nara seraya memasang wajah penuh luapan emosi.

Vano tak menjawab ucapan Nara. Ia meraih buku paket kimia, lalu membukanya. Tak peduli ekspresi Nara yang seakan ingin memakan Vano hidup-hidup.

"Gak usah belajar! Nanggung, mending kita lanjutin soal permasalahan Kak Riki."

Ucapan Nara sukses membuat Vano mengalihkan pandangannya dari buku.

"Terus?"

"Deal 'kan kita kerjasama." Nara mengulurkan tangannya ke hadapan Vano.

Laki-laki itu masih terdiam menatap uluran tangan Nara. "Oke, deal," jawab Vano tanpa membalas uluran tangan Nara.

Nara menarik kembali tangannya. Kenapa pula ia lupa bahwa sedang berhadapan dengan makhluk dingin. Ah ... membuat kesal saja.

"Terus rencananya?"

"Kemarin udah." Vano memandang Nara tanpa minat.

"Maksud gue tugas lo apa?"

Belum juga Vano menjawab bel pertanda masuk sudah berbunyi. Ck, menghalangi saja. Dengan langkah malas Nara berjalan keluar perpustakaan terlebih dulu.

SULIT [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang