❄️6: Terbongkar❄️

377 71 20
                                    

❄️❄️❄️

Awal yang baik, pagi ini Nara tak hentinya tersenyum. Bahagia tak terkira ia baru saja memenangkan sebuah lomba cipta puisi yang selama ini ia idam-idamkan.

Ariani yang melihat Nara senyum-senyum gak jelas, lantas bertanya, "Lo, kenapa?"

Nara melirik Ariani sekilas dengan senyuman yang masih mengembang.

"Gue menang lomba," jawab Nara dengan senyum yang masih mengembang.

"Gue kira kenapa." Ariani kembali ke tempat duduknya.

Hari yang sungguh bahagia, mentari pun seolah menyambut kemenangan yang Nara peroleh. Tak disangka semua mimpi yang ia rancang dari dulu kini menjadi kenyataan.

Bahkan tak hentinya kabar gembira ia dapat, ia mendapat nilai sempurna di pelajaran yang sulit yakni Matematika. Sungguh di luar dugaan. Nara merasa ini adalah hari yang luar biasa.

***

Nara tak tahu bahwa hari di mana ia mendapat sebuah kegembiraan akan berakhir dengan sekejap di gantikan rasa sakit yang luar biasa.

Baru saja Nara akan beranjak dari kursi, sebuah WA dari Riki menghentikan aktivitasnya, ia kembali duduk.

Ariani yang melihat Nara kembali duduk jadi heran, bukannya tadi Nara ingin cepat-cepat ke kantin. Lalu, kenapa dia duduk lagi?

"Nar, katanya mau ke kantin." Ariani menatap Nara yang sibuk dengan ponselnya.

"Duluan aja, gue ada urusan." Nara beranjak dari kursi, lalu berjalan melewati Ariani menuju ke luar kelas.

***

Dari kejauhan Nara melihat ada seorang laki-laki yang berdiri di dekat kursi kayu. Ia memakai topi hitam membuat wajahnya tidak terlihat karena ia sedang menunduk.

Nara melangkah pelan, tiba-tiba hatinya merasa tak tenang. Ada apa ya?
Dag dig dug rasanya. Langkahnya semakin dekat dan akhirnya ia sampai di hadapan laki-laki itu.

Riki masih menunduk. Ia melihat sepasang sepatu yang ia kenali. Ia menegakan kepalanya.

Riki menyodorkan ponselnya ke tangan Nara. Tanpa berkata apapun Riki yakin gadis di hadapannya pasti mengerti.

Nara menerimanya. Matanya seketika membulat kaget, bagaimana mungkin rahasia yang selama ini dijaga oleh dirinya dan Riki terbongkar begitu saja. Lebih parahnya lagi rahasia itu sudah menyebar ke mana-mana bahkan menjadi trending topic.

Gadis berambut lurus sepinggang itu tak hentinya tersenyum, ia berjalan menuju kantor guru, niatnya sih ingin menanyakan perihal lomba. Tapi, saat Nara melewati kerumunan siswa-siswi yang sedang bergosip, salah seorang di antara mereka memanggilnya. Nara menghentikan langkahnya, ia berbalik.

"Ada apa?"

"Selamat ya," ucap gadis berambut ikal yang sama sekali tak dikenali nya.

"Oh, iya, makasih." Nara tersenyum tipis.

"Pasti bangga yang jadi kakak lo, btw lo punya kakak tiri, 'kan?" Gadis berambut ikal itu menatap Nara penasaran.

"Iya, Kak Riki pasti bangga," jawab Nara tanpa sadar mengucapkan hal yang tak sepatutnya ia ucapkan.

"Kak Riki kelas XI IPA 1?" tanya perempuan itu memastikan.

Nara mengangguk.

"Oh, jadi kakak tiri lo itu ... Riki," ucap gadis itu sedikit keras membuat siswa-siswi yang tak jauh darinya menoleh ke arahnya. Siswa-siswi itu mengerumuni Nara.

"Iya, 'kan? Riki itu kakak lo," jelas perempuan berambut ikal.

"Eh." Nara baru menyadari ucapannya beberapa menit lalu.

Siswa-siswi lain yang mengerumuni Nara banyak yang penasaran.

"Bener itu, Nar?" tanya seorang siswa.

"Gak nyangka."

"Bener gak tuh?"

"Eh, bukan kok." Nara segera menyangkalnya sebelum masalah ini melebar ke mana-mana.

"Yahh ...," seru siswa-siswi itu, mereka segera bubar.

Nara segera beranjak pergi.

Nara tak mampu berkata apapun. Ia merasa bersalah karena akibat ulahnya semua rahasia itu terbongkar, ia takut Riki marah.

"Sekarang lo jelasin, kenapa rahasia itu kebongkar?" tanya Riki dengan sorot mata tajam.

"Gu-gue gak sengaja, maaf." Nara menunduk ia tak berani menatap wajah Riki.

"Maaf." Riki menyeringai.

"EMANG KATA MAAF BISA NGUBAH SEMUANYA!" sentak Riki dengan suara melengking. Ia sudah kelewat emosi.

"Maaf, kak. Gue gak sengaja," lirih Nara dengan kepala masih tertunduk.

"Gue udah bilang, jaga rahasia itu baik-baik. LO-NYA AJA YANG GAK DENGER!!"

"Maaf ...," ucap Nara lirih.

"Akibat ulah lo akan jadi masalah besar. Gue udah coba bersikap baik sama lo, tapi LO MERUSAK SEGALANYA!!" tegas Riki.

Riki mengambil ponselnya yang ada di genggaman Nara. Lalu berbalik hendak pergi. Namun, langkahnya terhenti karena tiba-tiba Nara bersuara.

"Kenapa Kak Riki harus banget nyembunyiin ini semua? Apa salahnya? Apa karena alasan kakak gak suka?" tanya Nara dengan mata berkaca-kaca menatap punggung Riki yang tak jauh dari tempatnya.

Riki berbalik. "Lo gak tahu masalahnya, bukan karena alasan gue gak suka. Tapi, akan ada masalah besar yang menimpa gue, lo juga ibu lo," jelas Riki. Ia menatap Nara yang berusaha menahan air matanya.

"Apa masalahnya? Gue ingin tahu." Nara berkata lirih, rasa sesak membuncah di dalam dadanya.

"GAK PERLU!"jawab Riki tegas.

"Gue cuma ingin bantu." Nara menghampiri Riki, "Kenapa lo benci sama gue, Kak?"

"GUE GAK BUTUH BANTUAN LO!! dan lo mau tahu kenapa gue benci lo? LO NYUSAHIN!" Riki tetap bersikeras tak mau, ia sudah terlanjur emosi.

"Kak gue-" ucapan Nara terpotong.

"JANGAN PANGGIL GUE KAKAK!! GUE BUKAN KAKAK LO!!" Riki segera berbalik, lalu pergi meninggalkan Nara yang termenung sendiri.

***

Kegaduhan di kelas tak membuat seorang gadis berambut lurus itu terganggu, ia masih memikirkan perkataan Riki yang menusuk hatinya. Padahal ia berusaha sopan pada laki-laki itu. Tapi, Riki selalu menganggapnya pengganggu. Segitu bencinya kah dia?

Air mata Nara luruh seketika mengingat kejadian tadi.

Andini yang baru masuk kelas, terkejut melihat Nara yang menangis dalam lamunan.

"Nar, lo kenapa?" Andini duduk di samping Nara, ia mengusap punggung Nara berusaha untuk menenangkannya.

Nara tak menjawab, ia langsung berhambur memeluk Andini dan terisak di pelukan sahabatnya.

"Ada apa, Nar? Coba cerita." Andini kembali bertanya sambil mengusap punggung Nara yang bergetar.

"Gu-e ga-k bi-sa." Nara berucap terbata-bata, rasa sesak dan sakit bercampur di dadanya. Tenggorokannya seakan tercekat. Tak mampu berkata apapun.

Nara tak mengerti dengan Riki. Mengapa ia marah besar padanya, padahal ia tak sengaja. Bahkan Riki tak menganggapnya saudara. Hati Nara sangat sakit seolah sebuah pisau mengiris hatinya. Begitu tak berperasaannya seorang Riki.

❄️❄️❄️

Terimakasih kepada para pembaca

Semoga suka ❤️

See you next part ❤️

SULIT [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang