❄️9: Curhat❄️

329 58 12
                                    

❄️❄️❄️

Seorang gadis berambut lurus membawa beberapa buku juga alat tulis. Ia melangkah sepanjang koridor, melewati beberapa siswa-siswi yang asik dengan kegiatannya masing-masing.

Tujuan Nara hanya satu, menuju perpustakaan. Seperti biasa ia akan belajar kimia dengan Vano. Orang yang dijuluki Nara es batu, mulut pedas dan masih banyak lagi.

Langkah Nara terbilang santai saat memasuki perpustakaan. Hawa sejuk menyambutnya, sudah pasti karena di perpustakaan ada AC.

"Telat 10 menit," ujar  Vano tanpa melirik Nara yang baru saja sampai.

Nara tak menggubrisnya, ia lebih memilih duduk. Lalu membuka buku yang dibawanya.

Sekitar 10 menit tak ada suara apapun kecuali suara Vano yang sibuk menjelaskan. Nara menopang dagunya dengan tangan. Cukup sudah ia merasa bosan. Kepalanya pusing melihat deretan nama-nama senyawa dan unsur.

"Cukup."

Vano berhenti menjelaskan, ia melirik Nara yang sedang menopang dagunya. Tentu saja Vano heran dengan sikap Nara, tak seperti biasanya.

"Belum selesai."

"Gue bosen," keluh Nara, ia sudah mengubah posisinya. Menenggelamkan wajahnya di antara lipatan tangannya.

Vano hanya mendengus kesal. Ck, alasan gak mutu. Ia kira Nara ada sesuatu hal penting sampai menghentikan ucapannya. Nyatanya, hanya karena kata 'Bosen' Vano harus berhenti menjelaskan.

Nara mendongak. Ia kembali ke posisi awal, duduk dengan baik. Bahkan laki-laki di hadapannya tak peduli sedikit pun. Minimal tanyakan kenapa Nara bosen. Memang dasar batu.

"Van," panggil Nara.

"Hm."

"Gue mau curhat." Nara memasang mimik sendu. Tapi itu tak berguna karena Vano terfokus pada ponselnya.

"Ya."

"Intinya, lo tahu 'kan masalah Kak Riki." Nara mulai bercerita.

"Iya."

"Gue mau selesain masalahnya Kak Riki. Tolongin gue 'lah, bantu supaya Kak Riki gak marah sama gue."

Hening

Vano tak sedikit pun mengeluarkan suaranya. Nara mendengus sebal, sebenarnya Vano itu denger gak sih Nara ngomong. Udah panjang lebar, tapi malah dikacangin.

Karena kesal, Nara beranjak dari kursi. Ia menghampiri Vano. Lalu menarik rambutnya.

"Shh." Vano meringis saat menyadari rambutnya ditarik cukup kuat.

"Lepas." Vano meletakkan ponselnya di meja. Ia mengalihkan pandangannya pada gadis berambut lurus.

"Gak!" tegas Nara, ia sudah kelewat kesal dengan perilaku Vano yang keterlaluan.

Vano menepis tangan Nara. Ia mengusap kepalanya yang tadi di Jambak gadis cerewet itu. Ya ... Vano menjulukinya dengan sebutan cerewet dan rempong.

Vano hanya mendelik tak suka. Ia mengambil ponselnya, lalu melangkah ke luar.

Namun Nara lebih dulu mencegat Vano. ia merentangkan tangannya, berusaha menghalangi jalan Vano. Tapi Vano tak menyerah ia melangkah ke kanan tetap saja di halangi.

"Bantu gue dulu."

"Apa?" Vano menatap malas gadis di depannya.

"Bantu selesain masalah Kak Riki dan bantu gue baikan sama Kak Riki. Lo 'kan temen deketnya." Nara menjelaskan keinginannya.

"Oke." Setelah menjawab itu Vano melangkah meninggalkan Nara yang menahan luapan emosi.

Jika saja ini bukan di perpustakaan, mungkin Nara sudah teriak sekencang-kencangnya di depan wajah Vano yang sok datar.
Nara membereskan buku dan alat tulisnya, lalu keluar dari perpustakaan yang mendadak membuatnya gerah.

***

"Vano," panggil Nara pada seorang laki-laki yang tak jauh di depannya.

Namun nihil. Vano tak menghentikan langkahnya, ia bahkan terus berjalan seolah panggilan Nara hanya angin lalu yang tidak terdengar.

Nara mencari-cari ke mana menghilangnya makhluk dingin itu. Padahal Nara bela-belain menunggu kelas Vano selesai.

Bukan Vano yang Nara lihat, melainkan Riki dan temannya entah siapa namanya Nara tak tahu.

Nara menghampiri Riki. "Kak, lihat Vano gak?"

Bukan Riki yang menjawab melainkan teman di samping Riki.

"Vano udah duluan, palingan lagi di parkiran."

"Thanks, Kak."

Nara tak peduli siapa yang menjawab pertanyaannya. Yang terpenting dia tahu keberadaan Vano.

Nara berlari secepat mungkin menuju parkiran. Ia takut Vano keburu pergi.

***

Nara berhenti setelah sampai di parkiran. Ia mengatur nafasnya yang tak beraturan. Tak berselang lama sebuah motor ninja berwarna merah melintas begitu saja. Nara kenal motor itu, motor Vano.

Nara baru menyadarinya. Ia berlari-lari mengejar Vano yang sudah di luar gerbang. Hanya tinggal menyebrang saja. Nara menambah kecepatan larinya.

Vano hendak menggas motornya. Tapi dia urungkan karena ada seorang gadis berambut lurus yang menghalangi jalannya.

Terlebih dulu Vano menepikan motornya. Lalu membuka helmnya.
"Apa?"

"Bantuin gue." Nara memohon, ia menyatukan kedua telapak tangannya.

"Iya."

"Jadi, apa solusi dan rencananya?" Nara memandang Vano penasaran.

"Lo awasi setiap gerak-gerik Riki di rumah," ucap Vano.

"Lo tugasnya apa?"

Vano tak menanggapi pertanyaan Nara, ia segera memakai helmnya , setelah itu melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.

"Yah ... dia pergi lagi."

Nara menghentakkan kakinya. Ia kesal. Selalu saja Vano tak menanggapi ucapan dan pertanyaannya. Dia pikir enak dikacangin, kalau makan kacang sih enak.

❄️❄️❄️

Terimakasih kepada para pembaca

Semoga suka ❤️

See you next part ❤️

SULIT [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang