❄️11: Petunjuk❄️

273 54 4
                                    

❄️❄️❄️

Minggu pagi yang menyebalkan bagi Nara. Baru saja ia menikmati waktu liburnya, makhluk dingin itu menelepon Nara. Harusnya Vano tahu waktu. Menelepon tidak pada waktu yang tepat. Nara hampir lupa, Vano 'kan si pengacau liburan Nara beberapa minggu lalu.

Nara mengangkat teleponnya yang terus berdering, membuat telinga sakit saja.

"Ya, halo. Libur gini ganggu aja lo!" ketus Nara dengan nada tak suka, ia menyibak selimutnya. Lalu berjalan ke balkon kamar.

"Info."

Nara menguap. "Gak tahu, gue baru bangun tidur," jawab Nara malas.

"Kalau ada, telepon."

Sejurus kemudian panggilan telepon di putuskan sepihak oleh Vano. Nara hanya berdecak kesal. Dikira ada apa, kalau masalah info sih tanpa diminta pun pasti dikasih tahu.

***

Baru saja Nara membuka pintu kamarnya, ia dikejutkan dengan sekelebat bayangan yang baru saja melewati kamarnya. Nara menatap kepergian Riki, ke mana tujuannya sih. Buru-buru banget. Seketika ide muncul begitu saja di kepalanya.

Nara berjalan ke arah kamar Riki. Ia membuka pintu kamarnya, melangkah masuk. Kemudian menutup pintunya pelan.

Nara mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar Riki. Nuansa abu dan hitam terlihat begitu elegan. Nara duduk di tepi kasur, tak sengaja pandangan beralih ke meja di sebelah ranjang. Sebuah benda persegi berwarna hitam di padukan softcase biru tua.

Nara mengambil benda persegi itu, yang diyakini ponsel milik Riki. Ia membuka ponsel tersebut dan kebetulan ponselnya bebas dari sandi maupun kode. Dalam hati Nara sangat bersyukur. Apa ini sebuah petunjuk.

Nara mengotak-atik ponsel Riki. Mencari sesuatu hal siapa tahu merupakan petunjuk. Nara melihat riwayat telepon. Di sana hanya ada satu nomor yang tidak di kenal. Aish ... Nara lupa tidak membawa ponselnya.

Nara memutuskan untuk mengirim nomor tersebut ke WA. Setelah itu Nara menghapus chat tersebut dan mematikan data seluler. Lalu,  ponsel tersebut ke tempat semula.

Suara langkah kaki seseorang terdengar semakin mendekat. Nara jadi panik sendiri, jangan-jangan itu Riki. Ia harus segera mencari tempat sembunyi. Di lemari, gak mungkin. Kolong kasur, no way. Belakang pintu, yang ada nanti kejedot. Duh, mana udah mau di buka.

Pintu di buka menampilkan seorang wanita paruh baya yang sedang meletakan sebuah paper bag di atas kasur. Entah apa isinya.

Posisi Nara sekarang di dekat kasur, sembunyinya sih tinggal nunduk. Nara mengintip mengangkat sedikit kepalanya. Nara menghela nafas ternyata ibunya ia kira Riki. Nara keluar dari persembunyiannya lalu memeluk ibunya dari belakang.

"Nara, kok ada di sini. Tumben." Ibunya membalikan tubuhnya. Lalu memandang putrinya, yang masih menenggelamkan wajahnya di pelukan sang ibu.

Nara mendongak. "Keluar yuk, Bu!" ajak Nara, ia menarik lengan ibunya keluar dari kamar Riki. Bukan apa-apa hanya saja Nara takut tiba-tiba Riki datang.

***

Nara mengirimkan nomor yang ia temukan di ponsel Riki kepada Vano. Sudah pasti itu salah satu petunjuk. Nara merebahkan tubuhnya di kasur. Seharian ini berbagai macam hal mengganggu pikirannya. Bahkan untuk merasa sedikit tenang pun sulit. Meskipun beberapa hari lalu Riki terlihat peduli, saat kaki Nara terkilir. Tapi, sekelebat wajah dingin Riki selalu terbayang-bayang. Seperti saat berpapasan Riki bahkan seolah tak mengenal Nara.

Ponsel Nara bergetar.

Vano
Temui gue di taman kota

Nara hanya menghela nafas lega. Apa mungkin ini awal dari petunjuk yang akan mereka dapatkan. Semoga saja. Nara melangkahkan kakinya mengambil tas Selempangnya, setelah itu berjalan keluar kamar.

***

Nara melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya Pukul 10.04. Tapi, ia tak melihat Vano di mana pun. Bahkan Nara sudah mengelilingi sekitaran taman kota. Tapi, tetap tidak ada. Nara duduk di kursi taman. Menatap sebal pada seseorang yang baru saja datang menghampirinya.

"Lo ke mana, sih?! Gue tungguin lo tahu," ucap Nara menatap Vano dengan tatapan sebal.

"Nyelidikin," jawab Vano menatap Nara datar.

Nara balik menatap Vano penasaran. "Jadi? Apa lo nemuin sesuatu?" tanya Nara masih menatap Vano dengan harapan laki-laki di hadapannya benar-benar mendapatkan petunjuk.

"Ya."

Vano melangkah pergi meninggalkan Nara yang masih terduduk di kursi taman. Nara mengejar Vano secepat mungkin. Meskipun sebal dengan sikap Vano, ia berusaha melupakannya demi memecahkan masalah Riki.

❄️❄️❄️

Terimakasih kepada para pembaca

Semoga suka ❤️

See you next part ❤️



SULIT [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang