Part 22. Badai (1)

600 72 6
                                    


Zarkan Tar mengikat tali terakhir baju zirah berwarna emas yang terpakai di tubuhnya. Ia menatap ke arah peta yang terbuka lebar di depan mata, beberapa tanda silang merah terdapat di beberapa bagian. Tanda merah merupakan penanda desa yang telah di musnahkan oleh para Gort. Ada delapan tanda yang berarti delapan desa dan penghuninya telah dibumi hanguskan.

Ia kemudian beralih menengok menatap wanita yang terbaring di ranjang. Matanya masih tetap terpejam dengan napas teratur. Kanna layaknya orang yang tengah tertidur pulas.

Zarkan Tar menghampiri kemudian membelai lembut wajah istrinya. Tak ada respon apapun. Seolah belaian itu tak menggoyahkan sama sekali kesadarannya.

Zeon masuk dengan baju zirah yang telah rapi terpasang. Di tangan kirinya sebuah tombak dengan ujung mengkilat tajam. Terlihat ia sudah bersiap untuk berperang.

"Yang Mulia ...."

"Tunggulah di luar, sebentar lagi aku akan kesana."

Zeon mengangguk lalu berbalik dan keluar ruangan. Sepergi Zeon, Zarkan Tar menghela napas. Ia kecup kening Kanna dengan lembut.

"Aku akan menghentikan perang ini sebelum kau terbangun, tetaplah tenang, Sayangku!" sekali lagi ia mengecup kening istrinya dengan lembut, memandang Kanna sekali lagi kemudian berpaling dan segera beranjak keluar ruangan.

Sepergi Zarkan Tar meninggalkan kamar, jendela terbuka tiba-tiba, membawa angin yang bertiup menyibak tirai kelambu tempat tidur. Sosok dewa berjubah hitam berdiri memandang Kanna. Atheras, Dewa Kematian menatap Kanna dengan wajah datar.

***

"Kau sudah mengamankan penduduk desa?" Merine memberondong pertanyaan pada Red ketika saudaranya itu masuk. Red mengangguk lalu mengambil beberapa senjata kecil buatan Kanna dan memasukkan ke kiltnya.

"Apa ayah sudah ditemukan?" Red balik bertanya. Merine menggeleng membuat hati keduanya kembali cemas.

Penyerangan Gort yang memusnahkan beberapa desa akhirnya didengar oleh para penduduk desa mereka. Ayahnya, Ken, dan beberapa penduduk desa mereka memasuki hutan ke arah desa lain untuk bersiaga menahan serangan Gort. Sedangkan tugas Merine dan Red adalah mengungsikan para penduduk desa ke tempat aman.

"Ayah berpesan kita harus menuju istana Samhian. Akan tetapi, para penduduk desa terdiri dari para wanita lemah dan anak-anak. Bisakah kita mencapai istana?" Merine dengan gelisah menggigit bibirnya.

"Kita harus mencari jalan lain," Red membuka peta yang ada di meja. Mereka berdua memandang peta wilayah Samhian mencari titik-titik jalan yang menghubungkan ke Istana.

"Beberapa titik jalan ini telah dikuasai para Gort. Apa yang harus kita lakukan?" Merine menandai titk-titik desa yang telah dimusnahkan Gort.

Red berdecak geram. Saat-saat seperti ini, pikirannya menjadi buntu seketika. Ia meremas rambutnya dengan kesal. Memindai seluruh ruangan seakan-akan di sana akan mendapatkan ide untuk memecahkan masalah mereka.

Lalu, matanya melihat tas yang tergantung di dinding. Tas milik Kanna. Ia bergerak dan mengambil tas tersebut.

Menatap Merine ia mengacungkan tas itu dengan senyum sumringah. "Apa itu?" Merine bertanya ketika Red meletakkan tas di meja.

"Apa kau ingat? Saat Kanna berlatih kekuatan elemen tanahnya ia berhasil menggali terowongan sampai ke area ini ...." Red menunjuk pada titik dekat padang tandura, padang rumput luas yang dekat dengan istana Samhian.

"Ini adalah padang rumput tandura, di mana Kanna menggali terowongan yang menghubungkan desa kita ke area istana Samhian. Jadi, kita bisa membawa penduduk desa dengan aman ke sana."

THE DESTINY (TAKDIR)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang