"Hijrah itu bukan hanya sekadar niat, tapi dibuktikan dengan taat."
-anonim
🐰🐰🐰
"Mbak Naira!"
Teriakan itu membuat yang merasa terpanggil namanya menoleh, sesungging senyum tercetak dibibir Naira, ia menghentikan langkahnya dan menunggu seseorang yang tadi memanggilnya.
"Alifa?" Naira memandang Alifa penuh tanya saat gadis tersebut sudah berada disampingnya.
Alifa menggigit bibir bawahnya, berusaha menekan rasa gengsinya untuk mengungkapkan. "Eum, gue... Gue mau belajar agama lebih dalam kak, lo mau ngajarin gue?"
Senyum Naira semakin mengembang mendengar pernyataan Alifa yang akhirnya terketuk hatinya untuk lebih belajar, Naira bersyukur Allah telah melunakkan hati Alifa.
"Yo wes, mbak dengan senang hati ngajarin kamu. Kapan kamu mau belajar?"
Namun Alifa mengangkat bahu, tanda ia pun tak tahu. "Lo kapan bisanya mbak?"
Naira mengangkat bola mata, berpikir sejenak. "Tiap sebelum subuh, gimana?"
Meski tak mengetahui alasan Naira menentukan jadwal belajarnya sebelum subuh, Alifa tanpa pikir panjang mengangguk setuju. Padahal Naira menetapkan jadwal itu karena setidaknya dengan begitu, Alifa akan bangun sebelum subuh dan tidak akan bangun kesiangan.
Keduanya pun melanjutkan perjalanan menuju pesantren diselingi percakapan-percakapan ringan, Naira yang pembawaannya memang mudah mengakrabkan diri dengan orang lain itu bahkan bisa membuat Alifa tersenyum saat ia memancing topik yang tepat, Alifa pun merasa nyaman dengannya, hingga keduanya cepat dekat dan tanpa sungkan bercerita tanpa sekat.
Dari pembicaraan inilah, Naira akhirnya banyak mengetahui cerita kehidupan Alifa yang ikut membuatnya hanyut, ia merasa sedih saat Alifa menceritakan bagaimana rapuhnya ia ketika kehilangan topangan terbesar yakni sang Bunda yang telah lebih dulu dipanggil yang Maha Kuasa.
"Mbak ikut sedih, Fa. Yang sabar, semua sudah kehendak-Nya. Ikhlaskan." tangan Naira mengusap pelan bahu Alifa penuh kasih sayang.
Alifa mengangguk, "Tadinya gue emang gak bisa nerima mbak, makanya gue frustasi dan hilang arah, saat Bunda pergi, dunia tuh kayak mengerikan buat gue, Ayah juga gak lagi peduli dan selalu habisin waktunya buat kerja, kerja dan kerja. Gue sendirian mbak, itulah kenapa gue cari hiburan dengan cara ke klub malam."
"Mulai sekarang, cobalah mengikhlaskan. Kamu salah kalau mengira kamu sendirian, karna Allah selalu bersama kita. Itulah sebabnya, kita ndak boleh bergantung sama makhluk, karna makhluk ndak kekal, dia akan mati, dan kita akan ditinggal pergi. Beda kalau kita bergantung hanya sama Allah, dijamin, kita ndak akan pernah merasa sendiri, karna Allah Yang Maha Kekal dan abadi."
"Iya, mbak. Untungnya, gue gak pernah ngapa-ngapain, gue pernah sih minum, tapi setelah itu gue cuma duduk di klub buat ketemuan sama temen-temen dan pacar gue doang."
Kening Naira mengernyit, satu hal menarik perhatiannya. "Kamu punya pacar, Fa?"
Dengan semangat '45, Alifa manggut-manggut seolah bangga. "Iyalah, mbak. Hari gini gak punya pacar, gak gaul banget."
KAMU SEDANG MEMBACA
AUFA (Hiatus)
Teen FictionIni bukan hanya kisah tentang Aufal, si Ustadz dan pemilik pesantren yang julukannya dingin dan hobinya menatap tanah walau seindah apapun pesona wanita yang ada didepannya, baginya semua sama, sama-sama mengundang dosa. Ini juga kisah tentang Ali...