"Cinta yang sejati baru dimulai setelah pernikahan."
- Anonym
🐰🐰🐰
"Saya terima nikah dan kawinnya Alifa Annovi Kamil binti Ibnu Kamil dengan maskawin tersebut, tunai!" ucap Aufal mantap dengan sekali tarikan nafas.
"Bagaimana saksi? Sah?" tanya penghulu dengan seraya melihat para saksi.
"SAH!" Semua tamu menyahut serentak.
"Alhamdulillah." Aufal dan semua orang di dalam mesjid mengucapkan puji syukur dengan khidmat.
Aufal menyalami kedua orang tuanya dan mertuanya. Kemudian menyunggingkan sebaris senyum tipis. Meskipun Alifa tidak berada di sampingnya saat ini sebagai halalnya untuk mencium tangannya sebagai Imam, Aufal tetap bahagia. Kebahagiaan terasa membuncah di hatinya, ingin sekali ia menemui Alifa dan mengecup keningnya.
Alifa, telah menjadi halal baginya.
"Barakallahu lakuma wa baraka 'alaykuma wa jama'a bainakuma fii khair." Doa tersebut terucap dari bibir kedua orang tua Aufal dan Ayah Alifa.
Tak terasa setitik cairan bening jatuh dari pelupuk mata sang umi, rasa bahagia dan sedih bercampur aduk menjadi satu disaat yang bersamaan, kala melihat anak laki-laki nya yang sudah sah menjadi Imam dari seorang wanita. Lengkungan sabit itu pun menghiasi bibirnya yang sudah mulai menampakkan kerutan-kerutan kecil.
"Umi, umi nangis?" tanya Naira yang tak sengaja melihat sang umi berlinang air mata.
"Ini tangisan Bahagia Nay, umi seneng bisa lihat putra umi akhirnya bisa menambatkan hatinya kepada wanita yang ia pilih sendiri," ucap umi Fatimah yang tersenyum lembut, dan melihat kearah Aufal yang tengah menyalami para tamu sambil memberikan ucapan selamat kepadanya.
Tak sengaja pandangannya bertemu dengan sang Umi, Aufal pun menyunggingkan senyuman termanis, dan dibalas anggukan oleh sang umi.
"Alhamdulillah kalau begitu, Nay khawatir." Naira menghembuskan nafas leganya dan tersenyum.
"Nggak apa-apa kok Nay. Oiya Nay, mempelai wanita bagaimana? Apakah sudah tahu kalau dia telah sah menjadi istri dari Aufal?" tanya umi yang penasaran.
"Alhamdulillah mi, Alifa udah tahu kok dia hari ini sudah sah menjadi istri Aufal, cuma ya gitu mi. Aufal kan memberikan permintaan agar Alifa nggak mau kalau yang jadi suaminya itu Aufal," pungkas Naira seadanya.
"Loh kenapa ? Bagaimana Alifa bisa tahu sedangkan calon mempelai laki-lakinya saja tidak ingin memperkenalkan identitas nya?" ucap sang umi.
"Begini mi, kan ayahnya Alifa udah mengabari tentang itu semua, dan Alifa menyetujui tanpa mau tahu siapa calon suaminya." Naira menjelaskan dengan lemah lembut kepada sang umi.
"Kalau sudah seperti itu, apa boleh buat, lagian mereka juga sudah sah," ujar sang umi sambil terkekeh kecil.
Naira pun yang mendengar itu tersenyum dan ikut terkekeh.
Tak lama setelah mereka bercerita, seseorang tiba-tiba mendekati mereka dengan wajahnya yang tampak habis menangis dengan mata yang sedikit membengkak.
"Assalamualaikum Umi, Mbak Naira." salam orang tersebut sambil memaksakan tersenyum.
"Wa'alaikumussalam warahmatullah," jawab umi dan Naira bersamaan.
Dan menatap si penyapa, tampak Naira yang sedikit terperanjat melihat wajah itu."Ma... Mawar? Kamu Mawar kan?" tanya Naira yang sedikit mengundang perhatian orang yang melihat mereka. Sedangkan si gadis hanya mengangguk dengan lemah sambil memaksakan tersenyum.
"Iya Mbak ini ana Mawar. Mbak dan Umi apa kabar?" Si gadis menatap keduanya.
"Alhamdulillah bikhoir nak. Nak Mawar apa kabar?" Kini umi yang tadi sedikit terkejut karena kehadiran Mawar. Mulai ikut membuka suara.
"Alhamdulillah baik juga Mi," ucap gadis yang bernama Mawar tadi.
Naira memerhatikan wajah Mawar yang terlihat ganjil, seperti ada kesedihan yang terpampang jelas di wajahnya, sementara matanya yang sembab membuat Naira semakin mengerti apa yang terjadi pada gadis itu.
"Mawar, boleh kita bicara berdua di luar?"
Mawar mendongak, lalu perlahan mengangguk. Sebenarnya ia merasa penasaran dengan apa yang akan Naira katakan. Keduanya pun keluar dari ruangan.
Naira mendaratkan tubuh di kursi sementara Mawar ikut duduk di sampingnya. Perempuan itu menelengkan wajah kemudian bertanya, "Gimana bisa kamu ke sini? Dari mana kamu tau?" Nada suara Naira terdengar dingin. Tidak, sungguh Naira tak mau berlaku pada Mawar seperti ini, tapi masa lalu di mana Mawar pernah jadi orang yang dicinta sekaligus pemberi luka di hati adiknya tak bisa hilang dari ingatan begitu saja. Naira tak ingin, kedatangan Mawar kembali hanya merusak segala yang telah terangkai dengan baik.
Mawar menatap Naira, lantas mengembuskan napas perlahan. Rasanya sesak dan menyakitkan sebab luka lama belum bisa Naira lupakan. "Aku... Sepupu jauh Alifa. Kemaren aku datang dan Om Kamil bilang aku harus pergi ke acara pernikahan Alifa. Makanya aku datang, tapi ternyata aku malah ketemu lagi sama Mbak, umi, abi, dan... Aufal." Ada kesedihan mendalam pada kerlingan mata gadis bermata sipit itu, Naira berishbir pelan, menyadari kesalahan yang telah ia lakukan.
Mengapa Naira masih saja mengingat masa lalu yang bahkan sudah lama terjadi? Bukankah setiap orang memiliki kesempatan untuk mengubah diri? Mengapa Naira harus memendam benci? Astaghfirullah...
"Maaf, Mawar... Maaf. Aku... Aku cuma gak mau Aufal terluka lagi, aku gak mau. Aku--"
"Ssstt... Mbak, gak apa-apa, aku ngerti. Aku juga minta maaf ya, dulu pernah bikin Aufal terluka dan sakit hati. Aku ninggalin dia bahkan saat hari di mana seharusnya kami menikah. Aku jahat, Mbak. Aku pantas dibenci." Mawar menunduk, meremas jari-jarinya pelan. Tersirat kecemasan di air mukanya.
"Aku memang benci kamu, Mawar. Tapi sekarang aku sadar, gak ada gunanya menyimpan kebencian, yang hanya akan menyulitkan. Dengan memaafkan, hati terasa lebih lapang. Sudah saatnya kita lupakan masa lalu, Mawar, masa depan sudah menunggu." Tangan Naira beralih menggenggam erat tangan Mawar. Penuh kehangatan.
Kini, kebencian dan kisah masa lalu itu telah usai. Menyisakan air mata penuh kebahagiaan.
"Di hari yang bahagia kayak gini, kita malah nangis-nangis di sini," kata Naira seraya mengusap air mata.
Mawar terkekeh kecil. Lalu memandang Naira dalam-dalam. "Mbak, makasih karena udah maafin aku. Mbak tenang aja, aku datang gak berniat apapun, Mbak gak perlu khawatir, aku gak punya maksud sama sekali untuk merusak kebahagiaan Aufal."
Bibir Naira menyunggingkan senyuman. "Iya, aku tau."
Keduanya diam sambil melempar pandang ke arah depan. Akhirnya, semua berakhir dengan damai.
🐰🐰🐰
Assalamu'alaikum! Hai, udah lama gak nyapa kalian, hehe. Maafkeun kami yak yang ngaret banget upnya, dikarenakan ada banyak kendala serta urusan yang harus kami selesaikan, tapi alhamdulillah masih dikasih kesempatan sama Allah buat melanjutkan Aufa. Doakan ya gaes, semoga kami berdua bisa istiqomah menulis cerita ini sampai selesai. Aamiin. 🤗😁
Muhasabah & bunny.
KAMU SEDANG MEMBACA
AUFA (Hiatus)
Teen FictionIni bukan hanya kisah tentang Aufal, si Ustadz dan pemilik pesantren yang julukannya dingin dan hobinya menatap tanah walau seindah apapun pesona wanita yang ada didepannya, baginya semua sama, sama-sama mengundang dosa. Ini juga kisah tentang Ali...