"Aku, kamu dan rasaku.
Aku tak tahu bagaimana perasaanmu padaku, yang kutahu perasaanku bahagia padamu."-Anonym-
🐰🐰🐰
Saat ini, Alifa sedang meratapi perasaannya yang entah mengapa serasa sesak dari desakkan kecewa, entah mengapa perasaan ini semakin jelas adanya.
"Ya Allah, apakah aku salah mengharapkan dia yang sholih, aku tahu aku bukan lah orang yang baik, tapi apakah salah aku menginginkan dia yang terbaik?" lirihnya sendu, menangis sejadi-jadinya sangat menyakitkan mengharapkan dia yang Alifa harapkan akan pergi dan entah kapan akan kembali.
Terdengar ketukan dari luar.
Tok tok tok !
Alifa mendongak, mengerjap-ngerjapkan matanya yang terasa berat untuk menangkap cahaya, akibat air mata yang terus saja menggenang dipelupuk mata.
Pintu pun kembali diketuk.
Tok tok tok!
Alifa pun bangkit dari tidurnya, beringsut menegakkan badannya menatap ke arah pintu yang sedari terus saja diketuk.
"Siapa?" teriaknya sedikit serak karena habis menangis.
"Ini Mbak, Fa." Terdengar sahutan dari luar.
Mendengar suara Naira, Alifa pun bergegas bangkit menuju ke pintu untuk membuka pintu yang sedari tadi terus diketuk Naira."Bentar, Mbak."
Sambil menarik kenop pintu.Krieett!
Terdengar bunyi pintu terbuka dan menampilkan sosok Alifa yang sudah berantakan dengan hijab yang asal-asal, dan gamis yang terlihat sudah tidak rapi lagi.
"Assalamu'alaikum, Fa, kok ndak ikut makan sama Berliani?" Naira memajukan tubuhnya untuk bisa menghadap ke Alifa.
"Ooh itu... A.. Aku nggak laper Mbak," jawabnya bohong, sambil menunduk.
" Kamu nggak lagi ada Masalah kan, Fa?" Naira tampak khawatir melihat Alifa yang tampak begitu berantakan, ia teringat saat pertemuannya dengan Aufal yang tampak sedikit khawatir, Aufal langsung meminta tolong untuk menemani Alifa dan mengajak Alifa untuk makan bersama, Naira yang kebingungan hanya bisa meng'iya'kan permintaan Aufal.
Sebenarnya Naira sedikit mencurigai gelagat Aufal yang aneh akhir-akhir ini, semenjak bertemu Alifa, Aufal terus saja bertingkah aneh tapi ia pun tak bisa mengambil kesimpulan yang tak mungkin itu, sebelum pikirannya jauh Naira segera menepis pikirannya itu, dan fokus kepada Alifa yang tampak lesu dan berantakan.
"Nggak ada kok Mbak, aku cuma lagi kelilipan ini habis beres-beres kamar, hehe, debunya banyak banget." Alifa berusaha untuk menutupi perasaannya yang sedang diliputi rasa sedih dan kecewa.
"Ya Alhamdulillah kalo begitu, Mbak jadi tenang dengernya, kalau gitu Mbak boleh masuk nggak, soalnya Mbak mau lihat kamar kamu." Naira tersenyum memberikan pengertian, ia tahu bahwa Alifa tidak sedang membereskan kamar melainkan habis menangis.
Aduh gimana ya, aku kan tadi cuma bohong habis beresin kamar. Kalau Mbak Naira masuk dan melihat keadaan kamar yang lagi berantakan, aku ketahuan bohong dong, tapi kalau nggak ngizinin ntar dikira ada sesuatu yang aku sembunyiin lagi, ah gimana dong?
Alifa yang sedari asyik dengan pikirannya sendiri, tak menjawab pertanyaan Naira yang bagaikan debu yang berlalu begitu saja, tanpa ada respon membuat Naira jengah dengan tingkah Alifa yang menjadi sedikit aneh, ia pun teringat tingkah Aufal yang juga sering aneh tiba-tiba, entah mengapa Naira jadi tersenyum geli membayangkan Alifa dan Aufal bersama. Bagaimana jadinya ya, mereka yang agak sedikit aneh gitu, yang satu dingin bagai es kutub, datar dan hidupnya yang selalu monoton, sementara satunya lagi, pecicilan, ceria, dan pastinya absurd. Memang dua orang yang saling bertolak belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
AUFA (Hiatus)
Teen FictionIni bukan hanya kisah tentang Aufal, si Ustadz dan pemilik pesantren yang julukannya dingin dan hobinya menatap tanah walau seindah apapun pesona wanita yang ada didepannya, baginya semua sama, sama-sama mengundang dosa. Ini juga kisah tentang Ali...