10. Rencana Kepergian

310 19 0
                                    

"Hanya sebuah rencana, tapi mengapa hati berat begini untuk meninggalkan kamu?"

🐰🐰🐰

Aufal tengah berkutat dengan buku-buku tafsir, dan kertas lain yang sudah tidak beraturan lagi di atas meja, tangannya masih erat memegang pena, meski tak tahu apa yang tengah ditulisnya.

Ia menatap kembali coretan yang ia torehkan, matanya membelalak kaget saat membaca kembali rangkaian tulisannya.

Alifa.

Astaghfirullah, kok?

Pikirannya yang fokus memikirkan tentang kepulangannya ke Kairo, untuk mengurus terkait kelulusannya di Al-Azhar, masalah wisudanya, tapi kenapa... Ia malah tanpa sadar menulis nama Alifa?

Segera ia menepis perasaan aneh ini, entah kenapa ia terus saja memikirkan Alifa, ada perasaan yang tak biasa yang ia rasakan saat ini.

Untuk menghilangkan pikiran itu, Aufal pun bangkit dari tempat duduknya, dan berniat membersihkan jasmani dan rohaninya dari pikirannya yang campur aduk ini dengan berwudhu.

Setelah berwudhu, Aufal pun merasa segar kembali dengan perasaan yang tenang, sambil beristighfar memohon ampun kepada Allah untuk perasaan yang tak seharusnya ia kembangkan ini, ia takut akan membuat dia jauh dari Allah, dan merasa akan kecewa, merasa lebih tenang Aufal pun segera melanjutkan kegiatannya yaitu mengurus surat-surat untuk kepulangannya ke Kairo.

Kenapa saya jadi cemas begini ya pergi jauh dari kamu? Aufal membatin seolah tak menyadari pikirannya yang telah terkontaminasi oleh Alifa.

🐰🐰🐰

Naira menjelaskan tema pembelajaran mereka hari ini dengan penuh perhatian dan kelembutan dalam menjelaskan.

"Nah, Alifa, kalau kita durhaka sama orang tua, maka Allah telah menyediakan tempat yang layak yaitu neraka," pungkas Naira.

"Contoh anak durhaka itu gimana ya Mbak?"

"Misalnya kan, kita nggak nurut sama orang tua, sering membangkang apa kata orang tua, dan sering mengeluh apabila kita diperintahkan kedua orang tua, apalagi sampai membentak kedua orang tua dan membuat perasaan mereka terluka, kita sudah dicap oleh Allah sebagai anak durhaka, padahal kan orang tua kita telah merawat dan membesarkan kita, apalagi Ibu. Beliau adalah Malaikat yang berhati mutiara, sangat lembut, penuh perhatian dan juga kasih sayangnya sepanjang masa, beliau melahirkan, merawat dan membesarkan kita sampai sekarang, sedangkan Ayah, beliau adalah sosok laki-laki yang kuat tangguh dan bertanggung jawab, dan juga adalah sosok pahlawan yang membimbing dan memimpin keluarganya, beliau rela banting tulang demi menghidupi keluarga, itulah mereka. Sosok yang sangat berjasa bagi perjalanan hidup kita, dan kasih sayang mereka takkan habis sepanjang akhir hayat mereka, maka dari itu, kita sebagai anak harus berbakti dan menjadi anak yang sholeh dan sholehah, karena kita takkan bisa membalas jasa-jasa mereka, walau jiwa dan raga kita serahkan kepada mereka takkan bisa terbalas oleh waktu, hanya dengan berbakti dan selalu menyenangkan hati mereka dan jangan lukai fisik dan batin mereka, hormatilah kedua orang tua kita, setidaknya jadilah anak yang bisa menyejukkan hati orang tua yaitu, kita selalu belajar ilmu akhirat, dengan begitu kita akan selalu berdo'a untuk kedua orang tua kita. Nah, Alifa udah ngertikan?" Naira menyelesaikan penjelasannya, sedangkan Alifa, ia sudah tak kuasa lagi menahan kesedihannya sehingga dari pelupuk mata nya mengalirlah butiran bening itu, entah mengapa saat Naira menjelaskan dengan penuh arti yang membuat Alifa sering menitikkan air matanya.

AUFA (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang