"Nikahilah seseorang yang jika bersamanya, kamu merasa surga bisa di raih bersama."
🐰🐰🐰
Setelah melalui proses lamaran dengan Kamil, kini Aufal bisa bernapas lega. Seperti beban berton-ton yang sempat menghimpitnya, pergi begitu saja. Sekarang yang harus ia lakukan adalah mengabari keluarganya, bahwa lamarannya sudah diterima. Ada rasa bahagia dalam hatinya kala bisa mengungkapkan perasaannya.
"Assalamu'alaikum, Dek." Setelah panggilan ketiga, suara dari seberang sana menyapa.
Aufal tersentak sesaat, kemudian menjawab, "Wa'alaikumussalam, Mbak."
"Ada apa, tho, Fal? Kangen ya sama Mbak, makanya nelpon?" tanya Naira, sengaja menggoda Aufal.
"Iya, kangen. Tapi sama Umi dan Abi," balas Aufal cepat. Membuat Naira memonyongkan bibir meski sadar adiknya itu tak bisa melihat ekspresinya sekarang.
"Jadi kangennya cuma sama Umi dan Abi? Yo wes, kalau begitu, kamu tak pecat jadi adeknya Mbak, mau?"
Diam-diam Aufal tersenyum tipis. Belum sempat menanggapi lagi, Naira keburu berkata, "Sama Alifa? Ndak kangen kamu?" Perempuan itu kini bertanya asal.
Mata Aufal hanya berotasi tajam, enggan menanggapi pertanyaan Naira yang jawabannya adalah iya. "Umi dan Abi mana, Mbak? Aufal mau bicara penting."
Naira menggembungkan pipi, niatnya membuat Aufal kesal, malah ia yang jadi sebal karena perkataannya diabaikan. "Yo wes, yo wes. Bentar yo, Mbak tak panggilin dulu." Naira bangkit dari duduknya, lantas menuju ruang tamu, menghampiri orang tuanya.
"Hm." Lelaki itu berdeham sebagai jawaban.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara lembut merasuk ke indera pendengaran Aufal. Pertanda bahwa ponsel tersebut sudah berpindah tangan.
"Assalamu'alaikum le," ucap Fatimah lalu disusul Kyai Abdullah selang dua detik setelahnya.
"Wa'alaikumussalam, Umi, Abi. Gimana kabarnya? Sehat?"
"Alhamdulillah sehat, le. Kamu bagaimana di Jakarta?" Fatimah dan Abdullah bertanya hampir bersamaan.
"Alhamdulillah, sehat. Umi, Abi, ada hal penting yang Aufal mau sampaikan. Ini tentang khitbah Aufal kepada seorang perempuan. Aufal sudah istikharah, dan in syaa Allah, hati Aufal sudah mantap. Alhamdulillah Aufal sudah mengkhitbahnya dan diterima. Eum, untuk akad nikah, bagaimana baiknya Umi dan Abi aja. Menurut Umi sama Abi, kapan bagusnya?"
Mendengar perkataan Aufal, sontak mereka bertiga kaget bercampur senang, karena sedari dulu memang inilah yang diinginkan Kyai Abdullah dan Fatimah, anak bungsu mereka menikah dan akhirnya menyempurnakan separuh agamanya.
"Alhamdulillah, le. Umi dan Abi mendukung apa pun keputusan kamu. Untuk akad nikah, bagaimana kalau bulan ini? Pas sekali kan bulan Syawal, Rasulullah menikahi Aisyah pada bulan ini. Abi sangat setuju kalau kamu menikahi dia bulan ini, lebih cepat lebih baik, kan? Untuk tempat akad, kamu maunya di mana, le?" tanya Kyai Abdullah.
Aufal mengucap hamdalah dalam hati, tak urung merasa senang dengan persetujuan dan saran yang dikatakan oleh sang abi. Lantas tak berselang lama, menjawab, "Gimana kalau di Jakarta, Bi? Apa Abi dan Umi gak keberatan?"
Tanpa menunggu lama, terdengar jawaban dari seberang sana. "Ndak le, kami setuju. Alhamdulillah kami ada rezeki untuk ke sana. Kamu tunggu saja sekitar dua hari lagi, yo, Fal. Abi harus mengurus pesantren sebelum ditinggalkan ke sana. Setelah semuanya selesai, in syaa Allah kami akan tiba di Jakarta hari Rabu."
KAMU SEDANG MEMBACA
AUFA (Hiatus)
Teen FictionIni bukan hanya kisah tentang Aufal, si Ustadz dan pemilik pesantren yang julukannya dingin dan hobinya menatap tanah walau seindah apapun pesona wanita yang ada didepannya, baginya semua sama, sama-sama mengundang dosa. Ini juga kisah tentang Ali...