Hari ini adalah hari Senin, aku sengaja berangkat lebih awal karena hari ini merupakan jadwal piket kelas bagianku.
Setelah melangkahkan kaki dan sampai di kelas, aku langsung menempatkan tasku di kursi paling depan. Yap! Meskipun aku bukan siswi yang pintar, entah mengapa aku suka sekali duduk di bangku paling depan.
Tanpa berlama-lama aku mengambil sapu dan menyapu setengah bagian ruang kelas. Sekolah masih sepi, hanya ada beberapa murid yang hadir, dan pastinya mereka adalah anak-anak yang rajin.
Kurang lebih 10 menit aku menyapu, lalu ada siswa kelasku yang datang, ia langsung duduk dan mengeluarkan handphonenya lalu memposisikan layarnya menjadi horizontal. Ia sepertinya sedang menunggu loading di layar handphonenya, ia melihat ke bawah, kemudian matanya di arahkan kepadaku.
"Heh Jani! Gak bisa nyapu ya? Nih liat kolong kursiku masih kotor!" Ucapnya sembari memasang wajah yang ketus
"Ih anak ini! Selalu saja jutek dan emosian padaku!" gumam Jani dalam hati.
"Iya Atlan, aku sapukan lagi," jawabku datar padahal kesal di hati begitu terasa.
Dia adalah Atlan, yang entah kenapa selalu tidak bisa bersikap baik terhadapku. Ada rasa jengah 3 tahun satu kelas dengannya. Kami tak pernah mengobrol secara sengaja. Bahkan jika berkelompok, dia selalu memilih membagi tugas agar tidak ada komunikasi antara kami. Aku tidak tahu dan tidak mengerti. Seiring berjalannya waktu aku jadi tidak ingin tahu dan tidak ingin mengerti. Satu hal yang aku simpulkan dari sikapnya terhadapku, 'dia benci padaku. Dengan sangat!'.
Baiklah, sekarang sudah pukul 06:50 pagi, sudah banyak siswa yang datang. Aku segera membawa topi di dalam tasku.
"Mereka mana si?" ucapku dalam hati sambil mata ini mencari-cari dua sosok yang selalu setia bersamaku setiap hari, di sekolah ataupun di luar sekolah.
***
Setelah selesai upacara aku masih belum menemukan mereka, aku berjalan sendirian menuju ruang kelas dan berdesak-desakan dengan murid lain. Bahu kanan-kiriku tersenggol-senggol.
"Ih!" protesku dalam hati.
Sesampainya di kelas mereka juga ternyata belum ada. Lalu beberapa menit kemudian mereka muncul.
"Eh Jani!" sapa salah satu dari mereka.
"Keringatmu banyak banget. Kamu jadi bau Jani! Hahahah," ejek yang satunya lagi.
"Ih kalian apasih! Tega ya biarin aku sendirian" jawabku sambil memalingkan wajah dari mereka. Kursi mereka terletak tepat di belakangku.
Tidak lama kemudian guru matematika datang, beliau mengucapkan salam dan kami pun menjawabnya. Beliau lalu menaruh bukunya di atas meja guru.
"Tanpa basa-basi, bapak minta kalian untuk kumpulkan tugasnya sekarang. Cepat!" Katanya dengan nada bicara yang tegas.
Otomatis semua murid kelasku langsung membuka tas lalu mengeluarkan buku tugasnya masing-masing.
"Hah?" aku tercengang melihat isi tasku, aku sedikit termenung dan melihat keadaan sekelas, mereka semua mengumpulkannya. Lalu sebelum mengumpulkannya mereka berdua bertanya padaku,
"kenapa Jani?" tanya yang tepat di belakangku.
"Buku tugasku ..." jawabku lirih sembari mengernyitkan alis dengan mata sedikit berkaca-kaca juga di penuhi keringat di sekitaran dahi.
"Oh gitu" jawab mereka kompak namun dengan nada suara yang rendah. Kemudian mereka memasukkan kembali buku yang sudah ada di tangannya untuk dikumpulkan.
"Kenapa?" tanyaku heran.
Belum sempat mereka menjawab, lalu bapak matematika killer itu mendekatiku,
"kenapa Jani?" tanyanya sambil memangku tangan di depan dadanya.
Perasaanku sudah tidak karuan, pikirku terus berkhayal tentang hukuman yang akan di berikan jika tidak mengumpulkan tugas.
Mampus gue!
Tapi tiba-tiba yang di belakangku mengangkat tangannya dan berbicara secara terus terang, "maaf pak, kami lupa tidak membawa buku tugas," tuturnya.
Pak Guru menyipitkan matanya, beliau lalu berkata, "kalian lagi! Ini adalah kali kedua kalian seperti ini! Sekarang, lari di lapang depan 20 keliling!" ucapnya sambil membalikkan badan dan menunjuk ke arah luar di mana lapang depan berada. Tanpa berlama-lama juga kami akhirnya menuruti perintahnya.
Setelah lari 2 keliling di lapang tanpa pengawasan, tiba-tiba salah satu dari kami berkata, "bentar! Stop!" ucapnya sambil napasnya terengah-engah.
"Ada apa?" jawabku kebingungan.
"Halah gak usah pura-pura gak tau!" ucapnya lagi sambil meggandeng tanganku dan orang satunya lagi.
Kami saling beradu pandang lalu tertawa kecil. Kami kabur dari lapang sekolah menuju kantin. Yap! Kami menuju kantin. Bukan untuk apa-apa, kami hanya perlu menghindari keringat berlebih di pagi hari. Bisa kau bayangkan bagaimana penat dan panasnya setelah upacara satu jam di lapangan? Dan kini kami harus menuruti perintah gilanya lari 20 keliling di lapangan? Kami tak sekuat itu, Pak Killer!
Sambil memesan minuman dan beberapa camilan, kami berbincang kecil.
"Wah gila! Si killer gak segan-segan ngasih hukuman. Emang guru antimainstream!" ucap salah satu dari kami.
"Parah! Gila! Untung udah jadi kebiasaan kita! Inget ya Jan, lu temen kita! Kalo lu susah, kita harus susah!" timpal yang satunya lagi.
Dengan wajah tanpa dosa salahsatu dari kami berucap lagi, "terus kalo di hukum lari di lapang kitaaaaaaaaaa ..."
Lalu kalimat selanjutnya kami ucapkan sama-sama, "ke kantin! Hahahaahaha"
Itulah kami.
Aku (Aruna Langit Rinjani / Jani), Hillary Zivanka (Angka) dan Ineztania Nararya Yolanda (Yola). Mereka adalah teman terbaikku sejak SMP, sudah takdir memang! Kami selalu di tempatkan satu kelas. Mereka bukan hanya partner dalam hukuman, tapi partner dalam segala suka dan duka citaku. Mereka supporter yang lebih mengerti aku di banding diriku sendiri. Merekalah temanku. Teman terbaikku.
🕳🕳🕳
So guys ini part pertamanya. Semoga suka, jika ada kesalahan dalam bentuk apapun, tolong komentari ya! Terima kasih 💖
KAMU SEDANG MEMBACA
Aruna [ REVISI ]
RomanceAwal mula aku menyadari, bahwa cinta dapat tergantung di antara langit dan bumi. Padahal aku adalah langit, tapi dalam cerita ini, aku sebagai bumi. Ingin kenal dengan Aruna Langit Rinjani yang menjadi bumi? Mari masuk ke dalam dunianya yang bukan...