Hari ini adalah hari di mana aku akan berangkat lagi ke kota. Berat rasanya meninggalkan Zovan sendirian. Aku berpikir keras bagaimana caranya agar Zovan tetap bisa kupantau saat aku tak lagi di sini? Ya Allah, aku bingung. Di sini semuanya adalah keluarga tiriku, dari dulu aku tak pernah berani meminta apa pun dari mereka. Hanya ada satu orang yang lumayan dekat denganku, yaitu tante Ira. Ia adalah kakak dari ayahku, rumah kami bersebelahan. Aku akan memintanya agar bisa memantau Zovan saat aku tak lagi di sini.
Setelah aku selesai meminta hal tersebut pada tante Ira, akhirnya tante Ira setuju dan mengatakan bahwa dirinya memang khawatir dengan keadaan Zovan yang sekarang. Tante Ira pun menyanggupinya untuk terus memantau dan mengurus Zovan layaknya anak sendiri, karena kedua anak tante Ira sudah berkeluarga, bahkan ia sudah memiliki cucu dari masing-masing anaknya.
🎬🎬🎬
Sesampainya di kosan, aku merebahkan diri di atas kasur. Memejamkan mata sejenak, lalu kubukakan lagi. Masih teringat sosok mama yang dulu selalu ada untukku, senyumnya, nasihatnya, kasih sayangnya, dan yang selalu kurindukan saat aku berada di manapun adalah masakannya.
"Ma, lalu aku akan belajar masak dari siapa? Karena koki terhebatku kini telah dijemput Tuhan," tutur batinku hingga air mataku menetes. Aku mengusapnya dengan tanganku sendiri.
Teringat lagi waktu kecil ketika aku sering menangis karena satu hal, yaitu ketika mama masih dalan keadaan berjuang mendapatkan kepercayaan dari keluarga barunya, keluarga tiriku. Dulu Mama tak diterima oleh keluarga Ayah, sehingga Mama harus berjuang dan membentengi hatinya dengan kesabaran yang ekstra. Mama seringkali dihujat dan di sepelekan karena dianggap lancang menikah dengan Ayah yang masih bujang.
Berbagai cercaan mereka lontarkan, di belakang dan di depan kami. Tentu bukan hanya Mama yang menjadi icaran hinaan mereka, namun aku juga. Namun perlahan Mama bisa membuktikan, bahwa beliau dan aku sama sekali bukan beban bagi keluarga barunya. Sedikit demi sedikit mereka mulai menerima dan ada yang meminta maaf atas perlakuannya terhadap kami. Meski lama kelamaan kami tahu, kami masih di perbincangkan dan di anggap tidak layak menjadi bagian dari mereka.
Perihnya dalam posisi itu tak akan bisa aku lupakan. Jika Mama adalah satu-satunya alasanku pulang, lalu dari mulai sekarang, aku harus pulang ke mana?
"Sudah, Jani. Kuatkan hatimu. Ada mama di sini sama kamu, jika kita tidak saling menyayangi, lalu siapa lagi?" Ucap mama dulu sambil menyeka air mataku.
Satu persatu momen bahagia dan menyakitkan sekalipun teringat kembali. Membuat puing-puing bangungan yang telah luluhlantah semakin hancur berantakan menjadi atom-atom yang perlahan menusuk, menyakiti hati dan mengendap dalam imaji. Untuk kesekian kalinya aku bertanya,
"bagaimana bisa aku hidup tanpamu, Ma?"
Kedua tanganku menutupi wajahku. Pedih yang semakin dalam kurasakan semakin menumpuk, di tambah rindu dan merasa begitu kehilangan di saat aku tidak siap menerima segala kesedihan.
Aku tidak ahli dalam mendefinisikan luka, menerjemahkan rasa, dan mengartikan sebuah drama. Namun satu hal yang selalu kupahami dan kujalani saat keadaan apapun, yaitu menuliskannya. Apa yang kurasa, kuraba, kupinta, kulihat, kudengar. Sebagai seorang yang menyukai hobi membaca dan menulis, aku sering mendengar narasi yang tiba-tiba terlintas di otakku. Tanpa basa-basi, aku menuliskannya karena tak ingin kehilangan narasi itu. Itu adalah salah satu momen berhargaku dalam menciptakan sebuah karya.
Aku yang semakin larut sendirian dalam keadaan ini, maka jika semakin sedih, aku akan semakin diam hingga mata terpejam. Menangis itu melelahkan, menyesakkan, tapi melegakan. Menangis itu memang cengeng, tapi bisa membuat pelakunya senang dan tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aruna [ REVISI ]
RomantizmAwal mula aku menyadari, bahwa cinta dapat tergantung di antara langit dan bumi. Padahal aku adalah langit, tapi dalam cerita ini, aku sebagai bumi. Ingin kenal dengan Aruna Langit Rinjani yang menjadi bumi? Mari masuk ke dalam dunianya yang bukan...