Aku hanya berdiri, menatap nanar ke arah mama yang kini terbujur kaku tidak berdaya. Mengapa kau tak kunjung membuka matamu lalu tersenyum, Ma? Padahal aku sekarang ada di depanmu. Sedih, perih, pedih, kutahan sekuat tenaga untuk tidak mengeluarkan air mata. Sekuat mungkin kucoba meneguhkan hati agar bulir-bulir ini tak menetes deras di pipiku.
Ya Allah, sesakit inikah kehilangan seorang yang begitu kucintai dalam hidupku? Mengapa aku harus kehilangan seseorang yang membesarkanku dengan penuh kepedihan dan air mata? Dan yang lebih menyakitkan adalah aku kehilangannya di saat aku belum bisa menjadi sosok yang bisa membuatnya bahagia dan bangga. Hatiku paham ini takdir Tuhan, orang bilang, ikhlas itu mudah. Tetapi tidak ada satu orang pun yang memberi tahuku bahwa mengikhlaskan akan terasa semenyakitkan ini, sepedih ini, dan serapuh ini.
"Ikhlaskan mamamu, Jani." Ucap ayah sambil mengusap kepalaku.
Aku masih terdiam, jiwa dan ragaku masih dengan sekuat tenaga menahan dorongan air mata yang telah terbendung lama di pelupuk mata. Bagaimana aku bisa ikhlas jika mama pergi tanpa pamit, mengapa ya Allah? Bukankah ia pantas aku dampingi ketika di akhir hembusan napasnya? Bukankah mama sangat menyayangiku? Lantas mengapa mama berbohong bahwa ia baik-baik saja selama ini? Ketika pertanyaan-pertanyaan itu muncul, tanpa kusadari air mataku surut. "Aku harus kuat!" Bisikan hatiku berkata demikian, aku tak ingin dengan meninggalnya mama membuat semangatku surut dan tak punya gairah hidup.
🎬🎬🎬
Hari berikutnya, aku masih di rumahku. Pagi ini aku melihat Zovan yang masih tertidur, padahal ini sudah waktunya ia berangkat sekolah. Sedangkan ayah sudah berangkat ke luar kota, "Ayah akan ikut bos ayah untuk urusan bisnis di luar kota. Kamu sama Zovan baik-baik ya selama jauh dari ayah," ucapnya.
"Zovan di sini sama siapa, Yah? Jani 'kan nanti mau berangkat lagi," Tanyaku.
Ayah terdiam, lalu ia mengambil tasnya dan berkata, "Zovan akan ayah titipkan sama tantenya," jawabnya sambil memakai kacamata yang ia ambil di saku bajunya. "Assalamualaikum, ayah berangkat dulu. Doakan semoga usaha ayah dan bos ayah lancar," lanjutnya, aku menjawab salam dan mencium tangannya, lalu ayah perlahan menjauh dari pandanganku.
"Zovan, bangun. Sekolah," ujarku sambil menepuk-nepuk pundak Zovan.
Zovan tak kunjung bangun. Ah, mungkin dia masih butuh istirahat. Hatinya pasti tidak kalah hancur dengan hatiku. Seburuk apapun perilaku Zovan, ia tetap anak lelaki yang memiliki hati, baginya, mama adalah segalanya. Aku yakin. Pun rasa sayangnya terhadap mama tak akan kalah besar denganku. Kami berdua benar-benar merasa kehilangan.
Aku lalu pergi ke dapur untuk masak sarapan. Aku memasak ikan cumi, kesukaan Zovan. Selesai masak, aku berencana membangunkan Zovan kembali. Tetapi dia sudah tidak ada di kamar. Aku mencari dan memanggilnya, "dia gak ada di rumah," gumamku.
Aku lihat motor masih ada, biasanya kalau Zovan mau pergi ke mana-mana dia pasti membawa motornya. Aku mencoba menelponnya, namun tak ada jawaban, Zovan tak mengangkatnya sama sekali. Kemana dia pergi sepagi ini? Aku khawatir.
Aku mencoba menanyakan keberadaan Zovan pada tanteku, tapi Zovan tak ada di sana. Ke mana lagi aku harus mencarinya? Apa Zovan pergi ke sekolah? Ah, mungkin saja ia memilih terlambat daripada tidak masuk sama sekali. Aku masuk lagi ke kamarnya Zovan, kulihat baju seragamnya masih tergantung utuh, "Lah, ini bajunya. Zovan ke mana Ya Allah?"
Berkali-kali aku menelpon Zovan, hasilnya tetap sama, tak ada jawaban. Aku mencoba berpositif thinking bahwa Zovan tidak akan macam-macam dengan dirinya. Namun, mengetahui bahwa keadaannya masih belum stabil karena kepergian mama, rasa cemasku tak kunjung hilang.
Hingga jam 12 siang Zovan belum juga kembali. Kali ini aku tak bisa tenang, alu bergegas mencari Zovan ke tempat-tempat yang memungkinkan dia ada di sana. Tempat pertama yang aku datangi adalah tempat nongkrongnya dulu bersama teman-temannya. Namun tak ada. Tempat ke dua yang kukunjungi adalah rumah teman mainnya yang sudah tidak sekolah, namun temannya bilang Zovan tak ada di sana. Lalu tempat terakhir yang aku tuju adalah rental PS atau semacam warnet yang berada tidak jauh dari rumah temannya tadi. Namun, karena terlalu banyak lelaki di luarnya, aku hanya melihat dari kejauhan dan menilik satu persatu sandal yang berceceran di luar, tak ada sandal Zovan.
Aku memilih pulang. Sesampainya di rumah, tiba-tiba Zovan sudah ada di ruang tamu. Betapa kagetnya aku melihat kelakuan adikku dengan asap yang mengepul keluar dari mulutnya, tangannya asik main game sembari memegang satu batang rokok. "Astagfirullah! Zovan!" Ucapku sembari merebut kedua benda yang ada digenggamannya.
Ia melirikku dengan tatapan penuh kebencian, "Balikin!" Ucap Zovan dengan nada suara yang sedikit tinggi.
Ya Allah, apa yang terjadi dengan keluargaku? Baru saja kemarin aku berduka, mengapa aku seolah melihat kehancuran untuk kedua kalinya selama dua hari berturut-turut? Aku benar-benar rapuh melihat Zovan yang kini lebih berani dalam bertingkah. Umurnya baru 14 tahun, namun apa yang dia lakukan pagi ini begitu mengecewakanku. Bahkan aku kecewa dengan diriku sendiri, sebagai seorang kakak, aku merasa gagal dalam mendidik adik lelakiku satu-satunya. Di sisi lain aku merasa masih terlalu dini untuk bisa menuntun atau mendidik seorang anak lelaki yang sedang dalam masa pencarian jati dirinya. Apa yang harus aku lakukan Ya Allah?
Handphone dan rokoknya masih ada digenggamanku, aku menatap Zovan penuh kekecewaan, "Zovan, kakak minta jangan kecewakan Mama," ucapku lirih, air mataku sudah tak bisa dibendung lagi. Zovan yang tadinya tengah berdiri dengan tatapan tajam penuh kebenciannya, kini hanya diam menatapku kosong. Zovan lalu pergi ke dapur dan makan, seolah tak terjadi apa-apa, dan seolah aku tak ada di sana.
"Ma, bagaimana nasibku dan Zovan? Ma, aku membutuhkanmu. Ma, aku rapuh ... " batinku berbisik penuh lara.
😢😢😢
Sekian dulu ya temen-temen, semoga tulisan dan seluruhnya dapat lebih baik lagi. Aamiin allahuma aamiin. Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan comment ya ❤
Salam daffodil,
Luneel
KAMU SEDANG MEMBACA
Aruna [ REVISI ]
RomanceAwal mula aku menyadari, bahwa cinta dapat tergantung di antara langit dan bumi. Padahal aku adalah langit, tapi dalam cerita ini, aku sebagai bumi. Ingin kenal dengan Aruna Langit Rinjani yang menjadi bumi? Mari masuk ke dalam dunianya yang bukan...