5. Hakuna Matata

371 269 113
                                    

Ia merasa sangat nyaman di pelukan Zia, ibu kandungnya. Mata hazel itu terlihat sangat teduh dan mampu membuat sejuk hati siapa saja yang menatapnya. Mungkin itu yang membuat Papanya dapat jatuh hati.

Pengeras suara itu terdengar memanggil namanya, ia sempat ragu karena takut. Takut suaranya jelek, takut menerima tatapan dari banyak orang. Juga takut menjadi bahan ejekan.

Ia kembali memeluk Mamanya. Dengan membelai lembut Zia berkata, "Ingat, hakuna matata." Kalimat yang selalu Zia ucapkan saat meyakinkan putri semata wayangnya itu, hal tersebut dibuatnya seperti sihir. Zia menatap dalam kedua bola mata putri kecilnya itu, "There are no worries." Lanjutnya dengan mantap.

Zeta menaiki panggung dengan perasaan lebih baik. Dengan percaya diri ia bernyanyi sambil memainkan sebuah piano berukuran besar yang sudah disediakan diatas panggung. Tidak ada ketakutan lagi dalam hatinya, tidak ada kecemasan berarti lagi. Seolah segala takut dan kekhawatiran telah dilenyapkan oleh kalimat Mamanya barusan.

Dan benar saja piala kemenangan berhasil dia bawa pulang, wajahnya tidak berhenti menampilkan senyum paling manis yang ia punya. Bukan hanya itu ia juga memenangkan sejumlah uang, uang yang selalu Zia tabung untuk keperluan Zeta dimasa depan kelak.

Zeta berlari memeluk Papanya yang sedang fokus menatap layar laptop. Bahkan diakhir pekan pun Toni masih mementingkan pekerjaannya.

"Papa, Kyla menang!" Ucapnya penuh semangat. Toni menatap singkat putrinya, lalu kembali fokus pada layar laptop.

"Pa, liat nih Kyla dapat piala. Bagus ya!" Ucapnya lagi. Berharap mendapat pujian dari seseorang yang sangat Zeta sayangi. Dari seorang Ayah yang merangkap menjadi cinta pertama bagi sebagian besar anak perempuan.

"Saya lebih suka kamu ikut olimpiade matematika! itu jauh lebih baik." Bentaknya hingga membuat mulut Zeta membisu ketika itu. Matanya mulai berair.

"Apa yang bisa kamu banggakan dari sekedar bermusik? Mau jadi apa masa depan kamu?" Sungguh, ucapannya barusan sangat menusuk hati kecil Zeta. Ia langsung berlari memeluk Mamanya yang juga sakit mendengar ucapan suaminya.

"MAMA!" Zeta berteriak memanggil Mamanya. Tapi ternyata semuanya hanya mimpi. Mimpi yang hampir setiap waktu menghantui tidurnya. Kenangan pahit yang sekuat tenaga ia kubur, tapi ternyata sulit. Detak jantungnya masih berdetak cepat, disertai keringat yang mengucur. Saat itu juga kerongkongannya terasa kering, Zeta melangkahkan kaki menuju dapur untuk mengambil minum.

Tanpa menuangnya ke dalam gelas terlebih dulu, Zeta langsung meneguk air mineral dari botol kaca itu. Zeta merasakan tenggorokannya yang tidak lagi kering. Lantas ia bergegas kembali ke kamar.

Kakinya menaiki anak tangga, saat itu juga Zeta mendengar pintu utama yang terbuka, "Belum tidur?" Suara bariton itu menginstrupsi langkah Zeta.

"Ini mau tidur." Zeta kembali melanjutkan kakinya menaiki anak tangga. Pria yang masih mengenakan jas itu kemudian menghembuskan nafas letih.

Sesampainya di kamar, bukannya melanjutkan tidur Zeta justru menyambar jaket kulit miliknya yang berada di balik pintu, serta mengambil kunci mobil diatas nakasnya.

°°○°°

Dentuman musik menyambut kedatangan Zeta. Asap rokok mengepul mengisi seisi ruangan. Riuh sorak sorai pria maupun wanita mendominasi tempat ini. Sebenarnya Zeta tidak terlalu menyukai tempat ini, banyak lelaki hidung belang yang tanpa segan menyentuh tubuhnya.

"Kemana aja lo? Baru keliatan. Gue kira udah insyaf." Sapa cowok yang masih asik meracik minuman berakohol lalu menuangnya ke dalam gelas.

"Bisa aja lo." Ucap Zeta sambil tertawa ringan. "Buatin gue kayak biasa." Sambungnya.

ZetanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang