Gadis berambut coklat itu masih membeku di tempat, dengan tatapan tidak percaya melihat seseorang yang kini berada di depannya. wait, Jakarta begitu luas namun mengapa semesta selalu memberi pertemuan pada keduanya?
Dengan mata yang masih terlihat sembab, akhirnya lidahnya dapat mengucap satu patah kata, "Lo?"
Cowok itu kini duduk disebelahnya setelah memberikan sapu tangan. Hening, ia ikut bungkam. Sementara cewek disebelahnya sudah selesai menangis. Dengan mata sembab ia mendogakan kepala melihat langit, gerombolan bintang seolah memperhatikan dirinya dari atas sana.
Ma, Kyla kangen Mama. Batinnya.
Cowok dengan rambut comma hair itu melihat arloji yang melingkar di tangannya, waktu menunjukan pukul tujuh tiga puluh malam. Belum terlalu larut pikirnya.
Matanya menyusuri jalanan ibukota yang pada saat itu terlihat padat merayap. Disaat yang bersamaan ia mengingat dengan satu tempat yang mungkin saja dapat mengubah suasana hati gadis galak disebelahnya itu.
"Mau ikut gue gak?." Ajaknya. Jujur ia tidak yakin jika Zeta akan menyetujuinya, namun diluar dugaan cewek itu mengangguk tanda menyetujui.
"Kemana?" Suara sumbangnya terdengar lucu, hingga membuat Kafka tersenyum lebar.
"Ikut aja, gua yakin lo pasti suka." Cowok bermata hitam pekat itu segera beranjak dari kursi yang ia duduki. Kafka tampak mengulurkan tangan dan memperlihatkan ekspresi "Ayo".
Namun yang Zeta katakan justru, "Gak ada acara gandeng menggandeng. Gue gak buta." sambil berjalan mendahului Kafka.
Emang udah dasarnya bego, udah tau yang ini spesiesnya beda. Masih aja gue modusin, batin kafka.
Kafka berusaha mengejar Zeta yang sudah pergi lebih dulu, Zeta sungguh berbeda ternyata jika berada di luar lingkungan sekolah. Tidak ada rambut kuncir kuda seperti biasa. Rambutnya malam ini dibiarkan tergerai indah. Ditambah kacamata hitam yang menutupi matanya, sungguh sangat kontras dengan yang biasa Kafka lihat.
"Lo daritadi jalan duluan gitu, emang tau arah tempatnya kemana?"
"Gak" Jawab Zeta singkat. Masih terus berjalan meninggalkan Kafka yang tertinggal lumayan jauh di belakang.
"Ze serius nih," ia sengaja menjeda kalimatnya supaya paling tidak Zeta memperlambat langkahnya, "Gue kayaknya nggak sanggup kalo jalan kaki."
Langkah cewek itu seketika terhenti, "Lha terus?"
Kafka masih terengah sambil memegangi lututnya, "Itu motor gue diparkir di depan minimarket. Lo kalo jalan kira-kira dong, capek gue ngikutin cara lo jalan kecepetan."
Kini Zeta telah duduk di jok belakang dengan Kafka yang sedang memakai helm. Jika dilihat saat ini mereka seperti couple karena sama-sama memakai jaket kulit hitam, padahal tidak. Kafka yang biasanya ke sekolah memakai hoodie mustard, kini ia memakai jaket kulit berwarna hitam dengan kaus putih di dalamnya. Tidak ketinggalan celana denim hitam.
"Pegangan." Suruh Kafka sambil menyalakan mesin motor.
Zeta refleks memegang pundak Kafka dengan kedua tangannya.
"Bukan disitu, tapi disini." Ia menuntun tangan Zeta untuk melingkar di pinggangnya. Sontak membuat tubuh Zeta lebih condong ke depan.
"Modus lo bangke!" Maki Zeta sambil menjitak kepala Kafka.
"Ampuni Kafka ibu peri." Ucap Kafka sambil memohon seolah Zeta adalah ibu peri.
°°○°°
Deru kendaraan itu membelah jalanan ibu kota. Dengan latar langit malam dan gedung-gedung pencakar langit, menciptakan pemandangan city light yang begitu indah. Tidak hanya bintang di langit, gedung-gedung besar itu seolah memiliki bintang masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zetana
Teen Fiction"Lo percaya pertemanan? Gue si enggak. Menurut gue pertemanan itu cuma status di lingkungan sosial aja. Semacam simbiosis mutualisme. Tujuannya hanya dua, saling menguntungkan, atau paling menguntungkan." Tutur Zeta pada teman barunya. Persepsinya t...