7. Pengadilan Dadakan

278 225 69
                                    

Pengadilan pun dimulai, mata Pak Heru selaku kepala sekolah memandangi kelima siswi dihadapannya. Zeta kini menjadi target utama karena dia telah membuat salah seorang siswi mengalami cedera hidung yang cukup parah, bahkan tulang hidungnya nyaris patah. Namun tidak tampak sedikit pun rasa takut apalagi penyesalan pada wajahnya. Zeta hanya duduk dengan ekspresi biasa, ia bukan tipikal orang yang mudah dibaca lewat ekspresi wajah.

"Bapak minta kamu jawab jujur, atas dasar apa kamu mukul Sera sampai separah itu?" Tanya Pak Heru masih mencoba untuk tenang, dan menyelesaikan semuanya dengan kepala dingin.

"Saya tidak akan bereaksi jika tidak ada sebab." Jawab Zeta singkat.

"Bohong Pak, dia yang nyerang Sera duluan." Sergah cewek berambut hitam pekat yang notabennya adalah sahabat Sera. Bukan tidak mungkin ia akan membuat Zeta mendapatkan hukuman yang berat.

"Tapi bis--" Ucapan Pak Heru terpotong dengan hadirnya seorang wanita.

Seisi ruangan kaget dengan munculnya wanita paruh baya yang baru saja masuk dengan membanting pintu.

"Ohh jadi ini preman sekolah yang bikin hidung anak saya patah." Makinya menunjuk wajah Zeta. Dan dibalas dengan tatapan menusuk Zeta.

"Apa-apaan kamu liat saya begitu? Gak pernah diajarin sopan santun? Huh!" Teriaknya lagi, kali ini wanita tersebut sudah akan bersiap untuk menampar Zeta, namun aksinya terhentikan karena dilerai oleh Pak Heru.

"Saya gak terima anak kesayangan saya diperlakukan seperti ini. Jika Bapak tidak menindak perkara ini dengan tegas, saya tidak akan segan-segan untuk menempuh jalur hukum!" Makinya lagi, dadanya naik turun menahan amarah dan matanya masih menatap sinis kearah Zeta.

"Ibu bisa langsung tanyakan kepada anak ibu, apakah telah di ajarkan sopan santun dengan baik? Apakah membully siswi lain adalah suatu tindakan terpuji?" Wanita yang sejak tadi terlihat sangat berapi api itupun seketika diam tidak bergeming. Begitupun dengan kedua sahabat Sera yang berada disana, mereka lupa bahwa ada bukti kuat.

"Anak saya tidak mungkin melakukan itu." Bantahnya.

"Bapak bisa langsung cek cctv, dan menindak tegas perkara ini seperti yang diinginkan ibu ini." Ucap Zeta dengan nada tegas.

°°○°°

"Buk Kafka mau permen sugusnya lima ribu ya." Pinta Kafka pada Mak Ipah salah seorang pedagang kantin.

"Panggil Emak aja tong, berasa jadi ibu guru." Mak Ipah memang lebih populer dipanggil dengan sebutan 'Emak' oleh siswa siswi disini.

"Kafka buk, bukan lontong."

"Terserah deh ah, pusing kepala Emak." Sahut Mak Ipah sambil memegangi kepalanya yang di tempel koyo cabe.

Setelah mendapatkan segenggam permen sugus, Kafka pergi ke meja yang telah ditempati Haikal dan Edgar yang sedang asyik memakan snack dan tidak ketinggalan kopi yang dibeli mereka berdua.

"Ngopi kok gak ngajak gue si."

"Lha gue kira lo gasuka ngopi, abis dari kemarin gue liat lo minumnya susu kotak" Sahut Edgar sambil fokus membaca buku komik. Begitupun Haikal masih fokus bermain game online di ponselnya.

"Woii!! Ada pengadilan dadakan di ruang kepsek!" Teriakan melengking itu lantas membuat seisi kantin menatap kearah sumber suara. Siswa berambut kribo sedang memegangi lututnya dengan napas yang terengah.

"Siapa woi!" Tanya Haikal ikut berteriak, hingga membuat Kafka yang sedang mengunyah permen ikut tersedak.

"Cewek sangar kelas lo!" Jawabnya.

ZetanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang