8. Manusia Sempurna?

307 221 81
                                        

Aroma kopi menyeruak mengisi seisi ruangan yang di dominasi warna putih gading dengan ornamen kayu jati. Menciptakan kesan minimalis dan membuat siapa saja yang berada disana merasa nyaman. Pria dengan apron berwana coklat itu sedang mengangkat bangku bangku yang berada disebuah Caffe, karena waktu yang telah menginjak tengah malam. Perkenalkan namanya Kafka Arceo, siswa kelas dua SMA Bina Nusa atau yang lebih dikenal dengan sebutan Binus. Dia juga merupakan barista part time di suatu Caffe, kurang lebih sudah dua tahun belakangan ini ia menggeluti profesinya.

Sebenarnya dari dulu tidak pernah terbayangkan jika ia akan menjadi seorang barista, apalagi sampai jatuh cinta pada minuman hitam pekat yang memiliki aroma khas, kopi. Kafka selalu bertanya, kenapa ayahnya dulu suka sekali meminum kopi padahal rasanya pahit dan kadang membuat jantung berdegup tidak karuan. Tapi semua persepsi Kafka terpatahkan saat seseorang membuatnya jatuh cinta pada kopi tepat dua tahun lalu.

"Andai aja lo masih ada, pasti gue buatin cappuccino kesukaan lo." Seketika Kafka teringat pada seseorang yang sangat ia rindukan. Seseorang yang menjalani hidupnya dengan santai namun ambisius, keras kepala namun mampu menyejukan. Seseorang yang mampu membuatnya hingga sampai dititik ini.

°°°

Kafka mengendarai motor kesayangannya yang ia namai Blacky, motor Yamaha XSR155 berwarna hitam itu melesat kencang dijalanan ibu kota minggu pagi. Sudah jadi rutinitas wajibnya di minggu pagi untuk mengunjungi suatu tempat. Namun sebelum sampai ke tempat tujuannya, Kafka memakirkan motornya di depan sebuah toko bunga.

Dari kejauhan ia dapat melihat toko bunga yang selama dua tahun belakangan sering sekali ia kunjungi. Disana sudah ada seorang wanita paruh baya yang sedang menyusun rangkaian bunga, terlihat begitu cantik dan beraroma harum. Wanita itu tersenyum memandang kehadiran Kafka yang dari tadi telah ia tunggu.

"Ini udah bude buatin." Katanya sambil memberikan sebuket bunga mawar putih yang begitu indah.

"Makasih banyak lho bude. Bunganya cantik, sama kayak yang bikin." Goda Kafka pada wanita yang seusia dengan ibunya itu.

°°°

Rupanya embun masih ingin memeluk rumput, seolah enggan untuk pamit meski sang fajar berusaha menarik paksa. Langkah kaki Kafka berjalan menelusuri tempat peristirahatan terakhir umat manusia, pemakaman.

Langkahnya terhenti, menatap dalam pada nisan berbahan dasar batu marmer.

ALEXA HYNA CREATA
Lahir : 1 April 2000
Wafat : 1 April 2015


"Hai, apakabar? Lo baik kan disana?" Tanya Kafka pada makam yang ditumbuhi rerumputan hijau itu. Air wajahnya berubah menjadi lebih sendu saat memori ingatan kembali berputar mundur.

Kali ini ia sudah tidak dapat membendung segalanya lagi. Matanya memanas, cairan bening itu memaksa menerobos keluar, "Gue hutang satu kehidupan sama lo, Lex." Bahunya sudah naik turun menahan isak yang tanpa sengaja ia suarakan melalui tangis.

Setelah berdoa dan menaruh bunga diatas makam, Kafka berjalan pergi meninggalkan pemakaman. Meski masih ingin berlama-lama disini tapi ia harus segera pergi.

Gue pasti bakal balik lagi, Lex. Batin Kafka.

 Batin Kafka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°°°

Cicit burung bersautan dari pepohonan di luar kamar seorang gadis yang tengah terpejam dalam balutan selimut tebal. Baru saja ia ingin protes karena gordeng kamarnya yang tiba-tiba di buka, mulutnya seolah terpaksa kembali bungkam saat melihat seorang wanita telah berdiri di hadapannya sambil bersedekap tangan.

"Ngapain di kamar saya?" Tanya Zeta dingin.

"Nanti malam kamu ikut dinner dengan rekan bisnis Mama." Wanita itu kini melirik kotak berukuran sedang yang ada di nakas Zeta, "Mama udah siapin bajunya."

"Saya gak mau ikut." Tolak Zeta sambil berjalan menuju kamar mandi.

"Kamu harus ikut." Tegas Violyn.

"Oh iya saya lupa, disini yang pegang kendali atas diri saya kan kalian ya?" Pertanyaan sarkas itu terlontarkan begitu saja. Mengingat selama ini ia tidak punya andil atas dirinya sendiri.

"Kamu anak Mama, jadi Mama berhak berlaku gimana pun sama kamu!" Violyn rupanya ikut terbawa emosi, tidak aneh lagi karena memang ia mudah sekali terbawa emosi. Setelah membentak Zeta ia keluar begitu saja meninggalkan putri semata wayangnya yang mematung menatap kepergiannya.

"Anak? Kapan gue di perlakuin sebagai anak mereka?" Zeta bermonolog sendiri, menatap miris.

Berendam menjadi pilihan Zeta untuk memperbaiki moodnya yang rusak, padahal embun saja belum pamit. Rasanya ia ingin sekali menghilang.

Zeta harus ini, Zeta harus itu, Zeta gak boleh begini, Zeta gak boleh begitu, Zeta harus pintar dalam akademik, Nilai Matematika tidak boleh turun. Seolah menjadi sempurna menjadi wajib baginya, kedua orangtua Zeta sepertinya lupa jika kodrat manusia adalah tidak boleh sempurna.

°°○°°

Hallo semuaa..
Maaf banget Zetana baru bisa update kembali, dikarenakan aktifitas aku yang gak memungkinkan untuk publish cerita di wattpad. Mohon pengertiannya yaa..

Gimana kabar kalian??

Kangen bangett nulis asli, kangen kalian semua jugaa. Semoga di minggu ini banyak kabar baik yang menghampiri kalian yaa, Aaminn.

Jangan lupa komentar dan like kalian, aku tunggu😘

ZetanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang