11. Nasi goreng

237 177 160
                                    

"Kalian ngapain?" Tiba-tiba saja pintu kelas terbuka. Menampilkan seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah Haikal yang disusul Edgar setelahnya.

Kedua cowok itu saling bertatapan dengan ekspresi yang sulit diartikan, "Duh Ed kita udah ganggu sobat yang lagi berjuang. Mohon maaf ya, Bro, kita gak jadi masuk, deh." Keduanya perlahan berjalan mundur, mengurungkan niat untuk masuk ke dalam kelas. Kasihan betul temannya itu jika malah diganggu padahal sedang berjuang untuk menghapus status jomblo. Begitu pikir Haikal.

°°○°°


Rumah megah dengan interior mewah itu tampak sangat mencolok pengelihatan siapa saja yang melihatnya. Namun, berbanding terbalik dengan suasana di dalamnya. Tidak ada sedikit pun kehangatan yang tercipta. Seperti saat ini hanya tampak seorang wanita paruh baya yang sedang mempersiapkan makan malam. Rutinitasnya adalah seperti ini tiap kali malam tiba, meski tak jarang makanan di meja makan tidak ada yang memakan karena seluruh penghuni rumah sangat jarang berada disana.

Tidak untuk hari ini, kedua majikannya sedang berada di rumah. Mereka terlihat mendatangi meja makan untuk mengisi perut. Ya, hanya mereka berdua tanpa Nona cantiknya. Violyn menyuguhkan nasi serta lauk untuk Toni suaminya. Walau hanya di rumah, pakaiannya tidak pernah terkesan sederhana.

"Mbok, Zeta dimana?" Tanya Toni pada Mbok Yen yang sedang menuangkan air minum ke gelas majikannya.

"Belum pulang Tuan." Jawab Mbok Yen pelan.

"Kamu liat kan? Anak kesayangan kamu makin ngelunjak aja, nggak tau aturan." Violyn mulai memanasi suaminya. Mbok Yen sudah tidak asing lagi dengan kelakuan majikannya itu hanya bisa terdiam sambil sesekali menghembuskan napas berat.

Toni masih diam, enggan membahas apa pun yang membuatnya berpikir keras. Pasalnya pikirannya telah dipenuhi masalah pekerjaan. Dan itu cukup membuatnya penat.

"Kamu harus tegas, jangan biarin dia ngelunjak kayak gitu. Mungkin ini saatnya kamu titipin dia di asrama, biar pikirannya dewasa!" Violyn memang sudah beberapa kali menyuruh suaminya untuk membuang anak tirinya itu di asrama, dengan alasan agar Zeta belajar mandiri dan segala macam alasan untuk kebaikan Zeta. Padahal kenyataannya, dia ingin menyingkirkan Zeta dari rumah.

"Saya kepala keluarga disini, jadi hanya saya yang berhak memutuskan, tanpa terkecuali." Rupanya kesabaran Toni sudah habis. Kepalanya sakit memikirkan pekerjaan kantor, belum lagi istri yang seharusnya menjadi penenang untuknya justru malah sebaliknya. Ia berdiri untuk kemudian pergi meninggalksn meja makan.

°°○°°

Di tempat lain, seorang cewek tengah tertidur nyenyak dalam balutan selimut tebal. Dengan kamar gelap gulita ia menggeliat di ranjang king size miliknya. masih lengkap dengan seragam putih abu yang di tubuhnya ia tertidur dari sepulang sekolah hingga kini telah larut malam.

Ia membuka gordeng besar itu dengan pelan, melihat kota metropolitan dari atas sini membuatnya agak berbinar, kala melihat kelap kelip lampu ibu kota ditemani langit yang telah menggelap.

Saat ini ia bukan berada di kamarnya, melainkan tempat pelarian saat ia malas kembali ke rumah. Saat perasaannya kacau. Saat ia merasa muak melihat wajah Papanya bahkan wanita murahan itu. Zeta sangat membenci Violyn. Karena wanita itu keadaan keluarganya hancur.

Zeta memang terlahir di keluarga kaya raya, apa pun dapat ia beli. Tapi, ia tidak akan sudi memakai uang orangtuanya. Ia membeli apartemen ini dengan uangnya sendiri. Dari tabungan yang ia punya. Alasanya apa lagi, ia ingin membuktikan jika dirinya mampu. Jika dia dapat hidup dengan hobi yang ia miliki.

Tidak ada seorang pun yang mengetahui keberadaan apartemen ini, karena Zeta memang sengaja merahasiakannya. Baru saja bangun tidur ia sudah merasakan perutnya yang kosong belum terisi. Hanya roti dan susu pemberian Kafka di sekolah tadi.

ZetanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang