4. Matematika

435 302 173
                                    

Pagi ini Zeta bangun cukup pagi, hingga tidak perlu berlarian untuk memasuki gerbang sekolah. Lumayan, masih setengah jam menuju bel masuk. Ia memakai kacamatanya. Iya, dia hanya memakai kacamata jika sekolah saja, selebihnya ia lebih memilih memakai soflen.

"Pagi teman sebangku." Baru saja menginjakan kaki di halaman sekolah tiba-tiba ada suara yang tidak ingin ia dengar. Cowok yang berdiri disebelah motor Yamaha XSR155.

"Ciee kita datengnya barengan." Goda pria yang gemar memakai hoodie hitam itu.

"Kenal?" Jawabnya singkat lalu berlalu begitu saja, meninggalkan Kafka yang masih mematung ditempat.

Belum sempat Kafka menjawabnya, Zeta lebih memilih meninggalkan cowok itu di belakangnya. Dengan langkah cepat, Zeta segera berjalan menuju kelas.

"Woy Zebra barengg!!" Teriakannya membuat seisi koridor menatap keduanya heran. Zeta masih terus mempercepat derap langkahnya tanpa memperdulikan teriakan Kafka.

"Buset jalannya ngalahin ulet kaki seribu." Kafka bermonolog sendiri. Ia heran, ternyata ada wanita yang jalan secepat itu. Apa karena kakinya panjang hingga membuat langkahnya lebar? Entahlah, Kafka tidak tahu.

Kafka masih terus membututi Zeta dari belakang hingga sampai di kelas. Namun ia sama sekali tidak dianggap oleh Zeta yang masih saja acuh dengan keberadaannya. gadis itu lebih memilih untuk mendengarkan musik.

Edgar berbalik untuk menghadap ke arah Kafka, "Lo udah ngerjain pr matematika, Kaf?" Kafka mengangguk.

"Gue liat dong, mastiin jawabannya sama apa enggak." Kalimat halus untuk meminta contekan ya seperti itu.

Tanpa ragu Kafka langsung memberikan buku pr nya. Lalu ia teringat pada seseorang yang sedang asyik mendengarkan lagu disebelahnya.

"Pr lo udah selesai?" Tanya-nya pada Zeta. Namun sepertinya volume speakernya terlalu kencang hingga membuatnya tidak mendengar ucapan Kafka, begitu pikirnya.

Tanpa berpikir panjang, Kafka mencopot sebelah earphone milik Zeta, "PR LO UDAH BELOM?" Tanya Kafka sambil berteriak.

Sontak hal itu membuat Zeta menutup telinganya. Teriakan Kafka sudah dapat disetarakan seperti toa masjid, atau bahkan suara knalpot motor.

"Gue gak budek. Setan!" Maki Zeta sambil mengusap telinganya yang berdengung.

"Yaudah pr lo udah belom, Nyai?"

"Bukan urusan lo."

Suasana kelas mendadak sunyi saat guru matematika datang. Kumisnya yang tebal menambah sangar wajahnya. Kalau di samakan, Pak Sugito lumayan mirip dengan Pak Raden.

"Kumpulkan pr kalian di meja saya, dalam hitungan sepuluh detik. Mulai dari sekarang." Sudah menjadi hal lumrah di pelajaran matematika, Pak Sugito selalu menyuruh seluruh murid untuk mengumpulkan pr seperti itu. Saat murid berlarian pontang panting ke depan kelas, ia malah menghitung santai sambil memainkan kumisnya.

Sepuluh detik berlalu, Pak Sugito menghitung buku yang terkumpul di mejanya, "Hanya ada dua puluh sembilan. Siapa satu orang yang belum mengumpulkan?" Matanya menatap setiap wajah siswa yang mencurigakan.

"Saya Pak." Zeta menunjuk dengan santai.

"Kenapa!"

"Bukunya hilang Pak." Jawab Zeta sekenanya. Sebenarnya bukannya hilang, hanya saja ia sedang malas berada di kelas. Padahal pr nya sudah ia kerjakan, bahkan Zeta yakin jawabannya benar semua.

"Berdiri di luar dan angkat satu kaki kamu diatas sampai pelajaran saya selesai." Meskipun Pak Sugito sering dibuat bingung dengan muridnya ini, ia selalu menghukum jika memang salah. Padahal sebenarnya Pak Sugito tahu betul kalau Zeta adalah murid berprestasi.

Zeta melenggang pergi meninggalkan kelas. Tanpa memperdulikan panggilan Kafka yang daritadi terus saja memanggil dirinya agar tetap duduk. Namun, ini yang Zeta mau. Kepalanya terlalu pusing jika harus bertemu dengan rumus matematika sepagi ini. Ditambah moodnya yang berantakan.

Zeta berjalan menyelusuri koridor yang sepi, sambil sesekali menundukan kepala agar tidak ada guru yang melihatnya lewat. Kali ini ia mendatangi tempat favoritnya sepagi ini, tidak seperti biasanya. Zeta duduk di sofa lusuh yang biasa ia duduki. Seringkali sofa ini juga merangkap sebagai ranjang pribadinya yang sering ia gunakan untuk tidur di siang hari.

Perlahan ia mengambil kotak berwarna putih bertuliskan Marlboro, juga tidak ketinggalan pemantik yang ia sengaja simpan di gudang. Gudang ini letaknya tersembunyi, ada di bagian sekolah paling belakang. Tidak ada yang mau sengaja datang kesini, mitosnya tempat ini dikenal angker oleh masyarakat sekolah. Tapi, itu hanyalah mitos dan Zeta telah membuktikannya sejak lama.

Kepulan putih itu semakin mengudara, memenuhi ruangan kecil nan pengap yang kini ia huni. Tidak luas memang, namun mampu menjadi tempat ternyaman baginya di sekolah.

Asap yang telah berteman dengannya sejak setahun belakangan ini. Awalnya hanya sekedar coba-coba, napasnya pun sempat tercekat kala hisapan pertamanya satu tahun lalu. Dadanya sesak, bahkan amat sesak, namun ia tidak berhenti disitu. Di hisapan ketiga semuanya terasa menyenangkan, dan perlahan Zeta menikmatinya. Batinnya tahu ini salah, namun logika membenarkannya.

Suara bantingan pintu membuatnya kaget, bersamaan dengan kedatangan seorang cowok, "Ternyata lo disi---" Ucapannya terpotong saat menangkap apa yang baru saja ia lihat.

Zeta langsung membuang selintingan tembakau yang masih terbakar itu, lalu menginjaknya hingga nyala apinya padam.

"Zee lo?" Diluar ekspetasi yang Kafka pikirkan sebelumnya. Ia kira Zeta akan menghabiskan hukumannya dengan benar atau mentok-mentok cabut untuk makan di kantin. Ternyata, ini yang ia dapati.

"Bukan urusan lo." Jawab Zeta acuh. Ia kembali mengambil selintingan putih itu dan hendak menyundutnya dengan pemantik, namun usahanya gagal karena Kafka berhasil membuang pemantik itu ke lantai, "Jelas ini urusan gue! Karena lo temen gue." Kafka masih berdiri dengan wajah yang sulit di jelaskan. Ucapanya terdengar meninggi satu oktaf.

"Lo bukan siapa-siapa gue." Zeta masih menjawabnya dengan nada datar. Namun tatapan yang ia tunjukan kali ini begitu dalam hingga membuat jantung Kafka jadi berdetak lebih cepat.

Kafka meringsut duduk di sofa lusuh tersebut. Matanya menatap dalam kornea mata coklat gelap di hadapannya. Kafka bisa merasakan. Yang Kafka tahu, mata adalah jendela hati manusia yang paling jujur.

"Lo boleh cerita apa pun ke gue. Meskipun lo belum anggap gue sebagai teman lo. Tapi, lo gak bisa pendam semuanya sendiri." Suaranya melemah, tidak seperti sebelumnya. Tangannya mengambil pulpen yang berada di saku seragam putihnya. Menuliskan sesuatu di telapak tangan Zeta.

"Anytime lo butuh, gue siap." Hanya itu kalimat yang Kafka ucapkan sebelum ia memutuskan untuk kembali ke kelas dan meninggalkan Zeta sendiri. Zeta masih terdiam tidak bersuara. Ia berusaha mencerna baik-baik kalimat yang baru di dengar oleh telinganya.

°°○°°

Hallo, apakabar? Aku harap bahagia selalu menyertai kalian semua, aminn. Semoga segala harap dan cita yang disemogakan akan cepat terkabul yaa.  Semoga yang sakit lekas disembuhkan dan yang sehat selalu terjaga.

Gimana dengan bab ini??

Ada kritik yang ingin disampaikan? Monggo dipersipahkan 😊

Kamu baca ini sambil ngelakuin kegiatan apa nih?

Rebahan aja di kamar?

Mulai aktivitas new normal di luar?

Atau

Abis ngerjain ujian online?

Sambil apa pun kalian, aku harap kalian terhibur dengan karya ku.

Jika kalian berkenan tolong klik tombol bintang dan jangan segan untuk berkomentar yaa..

Boleh juga untuk share cerita ini ke teman-teman kalian, biar lebih asik bisa baca bareng-bareng 😉

8 juni 2020

ZetanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang