1. Sate Ayam

33 3 0
                                    

Siapa lagi cowok ini? Maksud Bona, manusia normal mana yang berkeliaran di kantin kampus dengan rambut seberantakan sarang burung, wajah malas dan langkah terseret padahal jarum pendek sudah lewat dari angka 12. Bona menyedekapkan tangan di depan dada sambil mengetuk-ngetukkan sepatuku ke ubin kantin menunggu, mau beli apa sih sampai lama sekali? Padahal yang perlu pria itu lakukan hanya menyebut satu menu atau lauk yang ia inginkan.

Ketika menu yang disebutkan pria itu terdengar, Bona sedikit mengerutkan alis. Biasanya bila Bona berekspresi begini, Binar akan menegurnya karena katanya 'wajah Bona seperti orang mengajak berkelahi'. Tapi daripada itu, bagaimana bisa pria itu memesan menu yang sama seperti yang akan Bona pesan?

Mata Bona melirik ke arah lemari saji memastikan lauk yang ia inginkan masih cukup, setidaknya untuk Bona setelah pemuda sarang burung ini. Namun harapannya tidak terkabul. Sial sekali.

*

Bobby selalu hafal tabiat Arka -temannya- setiap makan di kantin kampus, pria itu akan memutar bola mata jenggah setiap melihat menu yang dibawa bobby. Arka yang melihatnya saja bosan, lalu bagaimana bisa seorang Bobby selalu menyantap sate ayam setiap hari?

'Sate ayam di sini tuh paling enak!' Itu kata-kata pamungkas Bobby sebelum Arka atau yang lainnya mengeluarkan protes atas menu pilihannya. Tolonglah Bobby, ini sate ayam bukan kopi yang semua orang tidak akan bosan meneguknya setiap hari.

"Bang, gue boleh kasbon dulu, oke?" ucap Bobby saat menerima seporsi sate ayam lengkap dengan lontong yang disiram bumbu kacang. Bahkan tangannya sudah mengambil satu tusuk lalu memakannya tanpa repot-repot menunggu jawaban di penjual.

"Heh cumi asin! Tau ngutang mending gue kasih neng cantik yang antri di belakang lo!" Umpat si penjual seraya menunjuk seorang wanita yang memasang wajah kesal di belakang Bobby.

Pria berambut berantakan itu memiringkan badannya, melirik siapa yang dimaksud penjual lalu kembali menatap si penjual, "Sok tau lo, bang! Cewek kayak gitu ngga mungkin pesen sate."

"Pesen apa?" Si penjual malah menanggapi ocehan tidak jelas Bobby.

"Kiranti," jawab Bobby sambil terkekeh.

*

Bona tidak dapat menahan alisnya yang semakin mengerut dalam mendengar apa yang dikatakan pemuda dengan rambut sarang burung di hadapannya. Jadi Bona baru saja kehilangan sate ayam favoritnya oleh orang yang bahkan berhutang untuk mendapatkannya?

Ia bahkan tidak segan melayangkan tatapan tidak bersahabat saat pemuda rambut satang burung itu melirik ke arahnya. Meskipun ia ingin mendebat kalimat Bobby tapi ia menahannya. Membuat keributan di kantin kampus jelas bukan alasan kenapa ia belajar mati-matian untuk dapat diterima di jurusan hukum di universitas ini. Lebih baik ia diam dan menelan saja kekesalannya.

Tapi gagal begitu mendengar jawaban tanpa filter milik lelaki sarang burung. Nafas gusar yang ia tahan lolos begitu saja. Rasanya ia ingin menjambak rambut tidak berbentuk pemuda itu, tapi urung begitu mengingat dari tampilannya saja ia tidak yakin kapan terakhir kali rambut itu dicuci.

"Udah bisa pesen kan bang?"

Memikirkan pria tidak penting di depannya hanya membuatnya emosi, daripada energinya terbuang sia-sia karena hal tak penting begitu lebih baik ia menganggap pemuda itu transparan. Alias tidak ada di dunia ini. Lebih baik begitu.

"Oh iya, udah bisa neng. Maaf ya, satenya habis noh neng."

Bukan sekali dua kali Bona memesan sate di sini meski baru satu bulan menjajaki pendidikan di universitas. Jadi sepertinya penjual ini sudah tahu apa menu yang biasa ia pesan. Bona hanya melirik sekilas ke arah Bobby dengan tatapan tak berarti sebelum kembali menatap sang penjual.

"Iya, nggak apa apa bang. Gado-gado aja. Oh iya, nggak pake kasbon ya, bang."

Ia dengan sengaja menekankan kata kasbon sambil mengeluarkan lembaran uang dari saku celananya. Bagaimana kalau sampai pemuda itu tersinggung oleh kata-katanya? Oh tenang saja, ia memang sengaja membuat pemuda itu tersinggung dengan perkataannya. Pemuda itu berhak dibuat tersinggung setelah menghabiskan sate ayamnya.

Selain raut kesal yang sempat tergambar di wajahnya tidak ada lagi ekspresi lain yang ia tunjukkan, padahal sang penjual saja sudah menerima uang yang ia ulurkan sambil menahan tawa sebelum menyiapkan pesanannya.

*

"Tuh bang rezeki mah ngga kemana. Lo ngutangin gue eh pelanggan selanjutnya ngga ngutang. Banyak-banyak bersyukur bang jadi orang." Khutbah Bobby pada sang penjual, pria itu sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan Bona, atau lebih tepatnya ia memang tidak pernah memusingkan ucapan orang lain.

Sang penjual hanya menggelengkan kepala mendengarkan ucapan Bobby, indera pendengarannya sudah khatam mendengar ucapan mahasiswa administrasi bisnis semester 5 itu.

"Gue ke meja bang!" Bobby mengangkat piringnya lalu berjalan menuju Arka yang sudah duduk manis menyantap seporsi soto ayam di meja yang berada di sudut ruangan.

*

InfinitumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang