21. Ceklis Satu

10 1 0
                                    

Jogja panas. Setidaknya dari nilai positif lain Jogja perasaan itu yang paling membekas pada benak Bobby. Kalau tidak ada hembusan AC dari mobil yang disewa oleh Hangga, mungkin ia sudah akan mengumpat sepanjang jalan. Daritadi mereka keliling untuk membeli kain batik saja sudah berapa gelas es teh manis yang diteguk Bobby yang ia beli dari pedagang yang berjalan di lorong-lorong pasar tempat mereka belanja. Bobby cukup salut pada Hangga yang tetap sabar memilih kain sambil meminta pendapat Mbak Nara via aplikasi chat online di ponselnya.

Ia saja membiarkan chat Bona menggantung daripada ia jawab dengan emosi karena kepanasan. Setidaknya yang penting gadisnya itu tahu ia sedang berjuang melawan panas di sini sambil menemani calon kakak ipar pacarnya itu mencari kain.

"Pulang, Bob." Nada itu terdengar lagi, nada yang menandakan pencarian akan tertunda kembali, entah Nara yang tidak suka atau ibu Hangga yang tidak suka.

"Proses nikah bikin capek ya? Lo ga darah tinggi mas?" Tanya Bobby yang sudah menggeletakkan kepala di atas meja cafe terdekat.

"Darah tinggi. Tapi masa baru begini doang batal nikah nggak lucu, Bob." Hangga terkekeh santai sambil meletakkan ponselnya di meja. Bobby cukup terkesan sebenarnya, Hangga daritadi santai saja berjalan ke sana kemari dan bertanya ini itu tanpa mengeluh. Menandakan batas ambang kesabarannya cukup tinggi, bahkan sampai masih bisa melontarkan candaan begitu.

"Omong-omong, yakin nikah muda, Bob?"

Pertanyaan Hangga begitu es kopi yang dipesannya lewat dari kerongkongan itu membuat Bobby mendengus sambil tertawa kecil, perlahan pemuda itu mengubah posisi duduknya menjadi bersandar malas di kursi cafe.

"Nggaklah mas, gila kali gue. Dikira nikah cuma modal selangkangan." Jawaban Bobby mengundang tawa kecil Hangga.

"Lo nggak kasian kan Bob sama Bona?" Bobby menghentikan sejenak gerakannya mengaduk es kopi. Ia menghela nafas cepat.

"Mas, gue udah bilang sama nyokap masih banyak cara nyelamatin hidup Bona selain nikah. Itu jawaban gue kalau masih mau mikir gue kasihan." Hangga mengangguk-angguk kecil meski masih tampak sedikit tidak puas.

"Terus?"

"Terus kenapa gue masih deket sama Bona?"

Hangga mengangguk membenarkan pertanyaan di kepalanya yang disuarakan oleh Bobby.

"Bingung."

"Lah," Hangga tertawa di sela kalimatnya, "gimana sih lo. Anak orang itu."

"Yang bilang anak kambing siapa sih, mas?"

Selorohan Bobby membuat Hangga kembali tertawa geli, kali ini lengkap dengan gelengan kepala tidak habis pikir.

"Udah ngerasain kangen belum, Bob?"

"Ini lagi kangen mas," Jawaban Bobby santai. Bahkan pemuda itu sambil menenggak es kopinya.

"Terus kenapa bingung?"

Bobby mengangkat bahunya sekilas.

"Ya bingung aja kenapa bisa pacaran. Daripada status kita nggak jelas, kan? Lamaran masih lama, nikah apalagi, daripada baper-baper nggak ada juntrungan mending gue pacarin."

Hangga hanya menggeleng-gelengkan kepala kecil mendengar jawaban santai Bobby meski tidak menyalahkan pola pikir pemuda itu juga.

"Baper-baper dipacarin ntar ujungnya juga sayang, Bob."

Bobby terkekeh.

"Kalau itu mah udah."

***

"Bon, lo nggak dihubungin Bobby?"

InfinitumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang