4. (Un)lucky

12 2 0
                                    

Tawa keras mengudara dari mulut Arka dan Gibran kala Bobby menceritakan ide sang bapak untuk menjodohkan dirinya hanya karena ucapan iseng Aleta. Dan kini Bobby menyesali kenapa harus cerita dengan dua bajingan ini, bukannya dapat solusi malah bikin darah tinggi.

"Diem setan!" Umpat Bobby saat kaki ketiganya susah memasuki area kampus, tidak banyak orang yang berlalu lalang di koridor kampus tapi tetap saja Bobby benci menjadi bahan bual-bualan kedua temannya itu.

"HAHAHAHAHAHAHA."

"HUAHAHAHAHAHAHA maap maap," ucap Arka yang masih saja tidak kuasa menahan rasa gelinya.

"Anjir yaaa Bob, muka lo tuh emang...." Gibran menoleh ke Bobby sebentar sebelum melanjutkan ucapan, "Berantakan, tapi ga sampe dijodohin juga kali hahahaha."

"Gue setuju, Ban! Biar pun penampilan si Bobby macem tumpukan baju kotor tapi kalo dilaundry masih layak kok." Seenak udel Arka menyetujui ucapan Gibran.

"Bangke!" Kedua tangan Bobby bergerak untuk menoyor kepala Arka dan Gibran dari belakang untuk menyalurkan rasa kesalnya. "Masuk kelas sana biar pinter!"

"Lah lo mau kemana?" Tanya Arka dengan kening mengerut.

"Mau nyari jodohnya, Ka! Siapa warga kampus kita," ledek Gibran lalu merangkul pundak Arka lengkap dengan tawa jahanam. "Good luck bro!" Sebelum ditendang Gibran buru-buru menyeret Arka masuk ke dalam kelas.

Sumpah serapah Bobby terlontar seiring kepergian kedua temannya, ia menghela napas dalam hingga bahunya sedikit merosot. Moodnya berantakan untuk mendengarkan ocehan dosen -meskipun dalam keseharian memang selalu seperti itu- jadi Bobby memutuskan untuk menyeret kakinya menuju kantin kampus.

Seporsi sate Bang Abay mungkin bisa membuat moodnya membaik.

*

"Lo kenapa sih, Bon?"

Binar bertanya sambil membereskan barang-barangnya. Kelas mereka baru saja selesai dan Bona belum beranjak membereskan barang-barangnya.

"Hm, nggak apa apa."

Bona menjawab cepat, masih dengan wajah datarnya dan segera membereskan barang-barangnya sebelum mengundang tanya lebih banyak dari Binar. Meskipun ia sudah memutuskan untuk tidak memikirkan lebih lanjut mengenai percakapan melantur Nara akhir-akhir ini tapi mau tidak mau ia jadi kepikiran juga. Ada apa sih dengan kakaknya itu? Maksud Bona, sudah biasa Nara pulang malam karena pekerjaannya. Entah bertemu klien atau berdiskusi dengan rekan pengacaranya di kantor firma hukum tempatnya bekerja. Tapi baru akhir-akhir ini Nara sampai melontarkan topik-topik aneh untuk perbincangan mereka. Apa kakaknya itu stress dengan pekerjaannya? Atau karena hal lain?

"Bohong tuh yang ahli dikit. 'Nggak apa-apa' tapi itu nyawa kemana, mbak."

Binar sudah berdiri di samping kursi Bona yang bahkan baru selesai menaikkan tali eco bag berwarna hitam di pundaknya yang ia gunakan untuk membawa buku perkuliahan dan barang-barangnya hari ini.

"Cerewet. Katanya laper."

Bona segera mengalihkan pembicaraan mereka sambil memimpin langkah keluar dari kelas. Binar dengan segera menyusul langkah Bona dan mengaitkan tangannya pada lengan Bona.

"Kenapa sih? Apa yang bikin lo kepikiran? Lo jatuh cinta?"

Tebakan tidak mutu Binar itu disambut dengusan geli oleh Bona. Temannya satu ini antara kelewat polos atau bagaimana, memang kalau ia tampak berpikir terus tampak seperti orang jatuh cinta? Apa korelasinya?

"Bukan."

Jawab Bona santai sambil meneruskan langkah mereka menuju kantin. Koridor yang mereka lewati meski ramai dapat terbilang lengang sehingga mereka tidak perlu berjalan berhimpitan hanya untuk melewati koridor, tapi Binar yang memang pada dasarnya suka dengan afeksi seseorang dalam bentuk fisik tentu saja tetap menempel di sisi tubuh Bona.

InfinitumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang